BAB 19~HUJAN

9 1 0
                                    

Happy Reading

"Iya, Ma." Arum melirik Boy di sampingnya. "Iya. Ini aku sama Boy, masih di tempat bimbel. Arum baik-baik aja kok. Iya lama. Abisnya dia lemot banget." Arum mengernyit. "Mau bicara? Nggak usah sih, Ma."

"Kenapa?" tanya Boy saat Arum menyodorkan ponsel padanya.

Arum mengangkat bahu. "Mama mau ngomong."

"Malam, Tan." Boy mengangguk entah apa yang dikatakan Mama di seberang sana, Arum tidak dapat mendengar jelas. "Boy bakal jagain Arum kok, Tan. Ini Arum lagi bantuin Boy, Tan. Nanti Boy anterin pulang." Boy menaik-naikkan alis menatap Arum. "Iya, Tan. Sama-sama. Tante istirahat ya."

"Mama bilang apa?" Arum menerima ponselnya sinis.

"Kepo aja lo."

"Boy?"

"Iya sayang?" Boy menutup mulut sambil menahan tawa saat mata Arum hampir keluar. "Eh, salah ngomong gue."

"Udah capek nih. Buruan, gue mau balik."

Boy melirik jam tangannya. "Sepuluh menit lagi. Lagian Tante udah ngasih ijin."

"Gue nggak mau balik sama lo."

Boy menaikkan alis. Dia tersenyum lebar lalu terkekeh. "Jangan buat Mama lo khawatir. Lo udah dititipin ke gue. Oke?"

Arum berdecak kesal. Dia masih harus terjebak di tempat bimbingan belajar padahal hari ini dia ingin sekali cepat kembali ke rumah karena Mama pulang cepat dan janji makan makan malam bersama. Namun rencanya gagal karena ternyata Mama lebih peduli pada Boy daripada anak kesayangannya. Dan mereka berdua terjebak dalam sebuah ruangan bimbel yang sejak satu jam yang lalu, penghuninya sudah bubar.

"Gigi lo nggak kering? Seneng banget nyengir."

"Enggak tuh. Nambah kan gantengnya kalau gue senyum."

"Ganteng? Kalau kata gue lebih mirip kuda sih kalau lo nyengir."

Dan setelah mendengar kalimat sarkas itu Boy hanya menghela nafas. Bukan hal baru lagi kan kalau mulut Arum itu memang pedas. "Kalau ada nominasi cowok tersabar dan teraniyana, gue udah pasti menang."

Arum membiarkan Boy mengoceh sambil mengerjakan soal kimia yang diperkirakan Arum akan masuk besok saat ulangan di kelas Boy. Sesekali dia melirik hasil pekerjaan Boy, dan akan menusuk lengan cowok itu dengan pulpen kalau ada rumus yang tidak sesuai dengan arahannya.

"Gue ditinggal mantan." Tanpa menoleh pada Arum, Boy melanjutkan curahan hatinya. "Dia hilang tanpa kabar. Terus gue minta tolong dong sama Arum, bantuin gue masuk FK UI biar mantan mau balikan."

Arum menoleh saat merasa namnya di sebut. Dia menanti kelanjutan cerita cowok itu. Entah apa yang dia harapkan tapi dia penasaran.

"Waduh, hampir hilang akal gue biar dia mau ngajarin gue. Kalau aja gue minta tolong sama cewek-cewek di luar sana. Pasti mereka senyum-senyum nggak jelas." Boy menatap Arum lalu tersenyum. "Sayangnya, lo malah jijik banget sama gue. Ngaku lo?"

"Diem."

"Jangan galak-galak. Nanti gue baper."

Boy menatapnya selama beberapa detik tapi Arum merasa ada yang tidak beres di balik dadanya. Sepertinya detak jantungnya mulai berdebar tidak beraturan. Dia tidak mau kelihatan cengo saat ini. Dia lebih dulu memutus kontak mata. Wajahnya terasa panas. Kenapa tiba-tiba suasanya terasa canggung. Atau Arum saja yang merasa demikian? Karena Boy terlihat biasa saja. Dia kembali berkutat mengerjakan soal-soal lain dari buku Arum.

Gue kenapa, sih? Dia cuma bercanda.

Arum geleng-geleng. Mengenyahkan pkiran-pikiran aneh dari dalam kepalanya. Dia meremas ujung roknya, mengingatkan pada dirinya sendiri untuk hati-hati. Bukannya dia tidak sadar akan kebaikan-kebaikan Boy selama ini. Dia tahu, meskipun Boy usil, malas belajar, dan lebih senang nongkrong di UKS demi tidak masuk kelas, tapi Boy sebenarnya tidak terlalu buruk. Dia perhatian. Peka kalau Arum lapar atau tidak nyaman di dekatnya, dia akan jaga jarak. Dia juga selalu menjaga sikap. Tapi siapa yang tahu apa yang ada di balik semua itu.

Bad Boy TobatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang