Happy reading ❤
Bel sudah berbunyi sepuluh menit yang lalu. Lima orang cowok di pojok kelas masih setia dengan posisi duduknya masing-masing. Carel di posisi paling belakang. Memainkan ponsel. Menutup teliganya dengan headeset. Fokus pada game online kesukaannya. Di depannya, Fadly memetik gitar milikAndra ditemani Aldo, bersenandung pelan di sampingnya. Di depan mereka, Andra masih tampak serius menyalin tugas catatan matematika. Dan Boy, dia menyandarkan tubuhnya ke dinding. Menutup kepalanya dengan hoodie. Tatatapannya sejak tadi tidak teralihkan dari layar HP, yang sebenarnya tidak ada notifikasi apapun.
Tidak ada yang istimewa di hari ini. Ulangan Fisika di pagi hari, sudah pasti nilai Boy tidak lulus remedial. Pelajaran kedua, Kimia. Tidak ada penjelasan Pak Yatno yang singgah di kepala Boy. Semua berlalu dan sirna begitu saja. Dan terakhir mata pelajaran Matematika. Tidak ada yang paling menyiksa selain mata pelajaran di hari rabu.
"Main yuk."
Aldo orang pertama memilih bangkit dari bangkunya duduk di meja Andra, menyebabkan si pemilik meja mendengkus kesal karena dengan sengaja Aldo menduduki buku catatannya. Bukannya kesal Aldo malah cekikikan tanpa dosa.
"Bokong lo, Do. Geser dikit. Wangi juga kaga," Andra menarik bukunya kasar, sedikit menggser posisi duduknya karena Aldo menghalangi pandangannya ke papan tulis.
"Yuk. Kemana-kemana?" Fadly ikut-ikutan duduk di bangku Andra. Keduanya harus duduk berhimpitan. Andra kelihatan semakin seweot dengan dua pengganggu di dekatnya.
"Ke rumah gue aja yuk. Kakak gue baru kasih hadiah PS5," ajak Andra.
Aldo mengeluarkan kotak belal abu-abu berisikan potongan buah pepaya dari tasnya. Mulutnya sibuk mengunyah buah kesukaannya itu sambil bergumam, "beda emang yang anak sultan."
Andra memutar bola mata. Tangannya menyisir rambutnya yang kecoklatan. Cowok itu paling malas jika ada yang menyinggung keadaan ekonimya. Walaupun kalau Aldo selalu bilang, harta bapaknya Andra tujuh turunan tidak akan habis. Tapi Andra tidak suka. Dia akan mengaku sebagai keturunan ke delapan.
"Boleh tuh, main PS yuk." Fadly mengangguk semangat lalu melirik Boy. "Lo bawa motor kan, Boy? Gua nebeng elu ya."
Boy menggeleng tanpa mengalihkan perhatian dari ponselnya. "Gue gak bisa. Sorry."
"Songong banget nih bocah. Sok iya banget. Dari kemarin kerjaannya diem. Nempel ke dinding. Ngeliatin HP. Lo nggak capek nungguin notif dari Vale." Aldo tidak tahan lagi uttuk tidak berkata jujur.
Fadly dan Andra mendadak diam. Menunggu respon Boy. Namun sepertinya Boy tidak berniat menyangkal. Benar kata Aldo. Sejak beberapa hari lalu, tepatnya sejak hubungannya dengan Vale berakhir dengan alasan yang tidak masuk akal, Boy lebih banyak diam. Duduk bersandar ke dinding. Sibuk bermain ponsel. Entah apa yang dia tunggu. Semua temannya tahu, Vale menghilang. Seluruh akun sosial medianya dinonaktifkan. Nomor HP, line, dan whatsapp sudah tidak aktif. Sepertinya dia tidak hanya berusaha menghindar dari Boy. Tapi hilang dari semua orang.
"Lo gak boleh kekanakan gini. Lo ngomong sama kita. Emang lo anggap kita ini apa?" desak Aldo. Wajah bercandanya mendadak hilang. "Emang apa yang lo dapat dengan lo diem gitu?"
Andra mengangguk setuju. "Aldo bener, Boy. Mungkin kita bisa bantu lo."
Melihat kondisi keempat temannya mendadak serius. Carel mematikan ponselnya. Bergabung bersama Aldo. Duduk di meja. Melipat tangan, menunggu apa yang terjadi selanjutnya.
Boy menatap mereka satu persatu lalu berdecak. "Lo semua mah gak bakalan bisa."
"Lah, nih anak belagu ya." Aldo menujuk wajah Boy. "Belum juga ngomong letak masalahnya dimana, udah ngatain kita."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Boy Tobat
Teen FictionAda yang rindu mantan? Ada yang lagi berjuang buat balikan? Boy sedang berada di dalam fase gagal move in, saat mantan memintanya lukus di Fakuktas Kedokteran. Boro-boro lulus kedokteran, dapat nilai Fisika sama Kimia enam puluh aja, Boy udah meras...