PART 7~ Toko Kue

31 9 13
                                    

Happy Reading ❤


Mendung di pagi hari menjadi musuh terbesar Arum saat bangun tidur. Udara dingin ditambah angin sepoi-sepoi yang menyusup dari jendela yang tidak tertutup rapat tadi malam, membuat Arum semakin enggan beranjak dari tempat tidur. Alarm sudah berbunyi sejak pukul lima, namun dengan mata yang masih terpejam dia mematikan poselnya kemudian memasukkan benda itu ke dalam laci nakas. Arum kembali melanjutkan tidur. Menggulung dirinya bersama kehangatan selimut. Kembali berkeliaran dalam mimpi.

Sayup-sayup, dari lantai satu, Arum mendengar Mama berbincang dengan Bu Asih—asisten rumah tangga mereka yang biasanya hanya datang sekitar pukul setengah tujuh dan pulang setelah pekerjaannya selesai. Arum seakan tersadar. Bu Asih sudah ada di rumah. Itu artinya sekarang?

"Setengah tujuh!" teriak Arum.

Selimutnya terlempar bersama bantal giling yang sudah terlebih dahulu mendarat di lantai. Arum berlari menatap pantulan dirinya di cermin. Piyama abu-abu kusut bermotif pisang. Lingkaran hitam di bawah mata. Rambut panjang acak-acakan. Arum meringis. Penampilannya benar-benar buruk. Dia meraih handuk. Berlari menuruni anak tangga. Arum masih sempat mengomel kenapa tidak ada toilet di lantai dua. Padahal Mama selalu bilang di lantai dua tidak ada ruang lagi. Hanya cukup untuk kamar Arum, gudang, dan balkon.

"Rum?"

Arum mengangkat tangan agar Mama tidak bertanya apa-apa dulu. Arum mengabaikan tatapan heran Bi Asih yang sedang menyiapkan sarapan. Dari Aromanya Arum tahu itu adalah nasi goreng terasi. Perut Arum keroncongan tetapi dia tidak punya waktu. Dia hanya mencomot kerupuk ikan dari piring sebelum masuk ke kamar mandi.

Tidak sampai lima menit dia sudah kembali berlai ke lantai dua dengan handuk menyelimuti tubuhnya. Dia mengenakan seragam, memakai kacamata, menguncir rambut, kemudian meraih tasnya di meja. Di saat genting seperti ini, pulpennya terjatuh dan menggelinding ke bawah meja. Arum merunduk. Kepalanya tidak sengaja menabrak sudut meja.

"Aduh." Arum meraba keningnya. Terasa perih dan berdarah. Arum melirik cermin kecil di mejanya. Dia membiarkan luka kecil itu karena tidak sempat mencari plester luka di kotak obat yang keberadaannya entah dimana. Arum lupa dimana.

Dengan nafas terengah, Arum kembali menuruni tangga. Tangannya menenteng sepatu. Energinya benar-benar terkuras. Sayangnya dia mungkin menyantap sepiring nasi goreng sat ini. Arum menghampiri Mama di meja makan. Wanita itu sedang sibuk mengetikkan sesuatu di laptop sambil sesekali memperhatikan beberapa contoh rangkaian bunga untuk dekorasi pernikahan di tabletnya.

"Ma, Arum kenapa nggak dibangunin?" omel Arum sembari mengenakan sepatu.

"Mama kira kamu udah bangun. Biasanya juga buat alarm." Tatapan Mama belum beralih dari pekerjaannya.

Arum meraih tisu untuk membersikan lukanya. "Arum pasti telat, nih."

Mama mendongak. Alisnya terangkat. "Itu kening kamu kenapa?"

"Kepentok meja," balas Arum singkat. Dia mendekat lalu meraih tangan Mama. "Arum berangkat, Ma."

"Mama nggak bisa antar kamu ke sekolah. Mama harus dekor ruangan untuk resepti pernikahan di derah Cawang. Kamu naik ojek online aja ya, sayang."

Mama menghela nafas. Dia menatap Arum dengan perasaan bersalah. Arum tersenyum. Mama selalu sibuk dengan toko bunga. Mama punya banyak waktu luang. Tidak jarang dia minta maaf pada Arum. Tapi Arum tidak pernah mempersalahkan apapun. Dia tahu semua yang dikakukan Mama adalah untuk kebaikannya. Apalagi dengan status orangtua single seperti Mama, rasanya Arum tidak punya hak untuk menuntut hal yan tidak penting.

"Bye, Ma. Bu Asih, Arum berangkat."

"Enggak sarapan, neng?" tanya Bu Asih.

"Nggak sempat, Bu," teriak Arum dari teras.

Bad Boy TobatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang