X X V I I

1.4K 282 11
                                    

Pencarian bukti tambahan di hari itu mereka akhiri. Hanya tinggal Leoni menyerahkan semuanya ke polisi serta menjelaskan semua apa yang mereka temukan, dengan harapan Carlos bisa langsung dibebaskan tanpa ada kecurigaan lagi.

Bukan berarti itu menjadi akhir bagi mereka berlima yang masih berkumpul di rumah Leoni. Sementara rumah itu akan Ace tinggali sampai rumahnya bisa diambil alih kembali. Rencananya mereka akan berdiskusi perihal ucapan Keenan tadi untuk tidak membuang waktu.

Seusai makan, mereka berkumpul di kamar yang pernah di singgahi Aludra. Kamar itu sudah tidak ada lagi barang-barang Leoni, semuanya kosong. Menyisakan perabotan seperti ranjang, meja, dan lemari.

"Gue jadi inget kejadian disini waktu Al bilang pengen denger suara kalian berdua kayak orang ngidam." Rio sampai merinding sendiri mendengarnya.

"Yang mana?" tanya Keenan tidak mengerti.

Rio menyenggol kakinya yang tertengkuk di lantai. "Lo mah gak ngangkat teleponnya. Mana tau hal beginian," sindirnya.

Ya, Aludra juga ingat. Dimana ia menangis sejadi-jadinya dan hanya Rio yang melihatnya. Ia pikir itu akan memalukan, tapi saat itu Aludra cukup tenang karena keberadaannya. Setidaknya ia tidak melewati masa sulit itu sendirian.

"Itu 'kan gue cuma mau mastiin kalo pandangan kalian ke gue gak beda," ucap Aludra sedikit malu.

"Tapi gue akuin, waktu lo minta kita berdua buat ngomong, itu gemesin." Tangan Ace mengapitkan kedua pipinya yang tidak pernah berubah. "Pacarnya siapa?" godanya.

"Lo," celetuk Aludra. Setelah sadar, ia melupakan sesuatu. "Lah iya, kita belum putus." Menepuk keningnya pelan. "Ayo putus!" ajaknya sembari menyodorkan tangannya untuk dijabat.

"Gue kira udah lupa," kekehnya. Menjabat tangannya. "Sekarang udah resmi putus," ucapnya tegas.

Kelakuan mereka layaknya pejabat yang sedang mengambil keputusan bersama melalui jabat tangan. Namun berbeda dengan ketiga orang yang berperan seperti rakyat yang tidak tahu menahu apa yang barusan terjadi.

"Kalian sejak kapan pacaran? Cepet banget putusnya," heran Kai.

"Boongan doang," timpal Keenan. Menunjuk Ace dengan dagunya. "Tuh anak buat heboh di pesta kakeknya sendiri. Nyium anak orang sembarangan," adunya. Jangan pikir Keenan tidak menguliknya melalui rekaman itu.

"Nyium siapa?"

"Siapa lagi kalo bukan temennya sendiri."

Rasanya Ace ingin mencabik mulut Keenan yang selalu mengadukan sesuatu. Belum ia diijinkan untuk bicara, berbagai serangan pun datang ke tubuhnya. Siapa lagi jika bukan Kai dan Rio yang menyerangnya bersamaan.

"Berani lo sama adek gue. Heran gue punya temen, nafsuan banget," hardik Kai memukulnya dengan bantal.

"Gak ada pilihan lain anjir. Ini apaan lagi?" Tidak hanya bantal, tapi juga jaket dihantamkan ke tubuhnya akibat ulah Rio. "Al, tolongin kek," mohonnya.

Aludra menggeleng, ia memilih duduk di bawah. Duduk di samping Keenan sambil melihatnya tersiksa. "Gak mau," ucapnya tersenyum lebar. Kepalan tangan itu di arahkan ke sebelahnya. "Bagus," ucapnya menyatukan tangan mereka. Ingat, Aludra punya sifat pendendam. Tidak memandang siapapun, termasuk sahabatnya sendiri.

"Nyesel gak?" tanya Rio menghentikan terlebih dahulu pukulannya.

"Engga." Jawabannya itu membuat dirinya dipukuli lagi. "Iya nyesel. Nyesel banget," lontarnya berbohong. Lebih baik berbohong daripada harus kena pukulan lagi.

Betul 'kan, mereka langsung berhenti. Matanya menangkap kedua orang yang membuatnya menderita sedang bermain karet yang dibentuk menjadi beberapa macam. Masih bisa mereka bermain di saat dirinya harus berjuang seperti ini?

Cassiopeia : Nayanika ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang