Perintah Ace sama sekali tidak digubris oleh mereka. Bahkan hanya masuk lewat telinga kanan dan keluar lewat telinga kiri, alias mereka tidak melakukannya. Apalagi dua kurcaci yang sedang belajar bersama, tiba-tiba diganggu begitu saja. Inilah imbasnya.
"Ih alay," cibir Aludra ketika Kai mengikutinya menulis sesuatu di atas tanah menggunakan stik kayu.
"Bukan alay. Apa salahnya coba nulis nama pacar sendiri?" Kai membela dirinya sendiri. Bangga dengan hasil karyanya, Kai mengabadikannya dengan cara memfotonya dan dikirimkan ke Resha. "Muka lo gak usah sirik gitu." Biasanya yang tidak punya pacar memang suka sirik dengan kebahagiaan seseorang.
Aludra mengernyit. "Gak ada yang sirik. Lo nya aja yang kepedean," ujarnya. Beralih melihat hasil karya Rio. "Lo ngapain nulis rumus, Yo?" Ia pikir akan ada nama juga yang ditulisnya.
Masih berkutat dengan hasil karyanya, ia menjawab, "Takut lupa. Tumben banget nih otak gue gak langsung lupa abis liat rumus." Stik kayunya patah, ia mengambil stik lain di sekitarnya. "Coba lo tebak rumus apa yang gue–" Ucapannya terhenti, melirik orang di sebelahnya. "Lupa gue lagi ngomong sama lo, Al." Tanpa tebak-tebakan pun, Aludra pasti sudah bisa menjawabnya.
Aludra terkekeh, lebih baik tidak menjawab. Tangannya melanjutkan menulis nama yang belum ia selesaikan. Tidak tahu apa urgensinya ia menulis namanya, hanya sekedar teringat di kepalanya setiap hari.
"Gue pikir lo bakal nulis nama Kak Leoni atau papa lo, ternyata adik lo," sahut Kai melirik. "Kapan adik lo kesini lagi? Kangen banget gue main sama dia." Ya walaupun baru dua kali ia bermain dengan adiknya itu.
Aludra mengedikkan bahu. "Gak pernah gue tanya ke Papa kapan Mama Vie kesini lagi. Tapi gue kangen juga mereka kesini, gue pikir mereka bakalan netap disini," dengkusnya.
Sudah Aludra katakan beberapa bulan lalu, ia lebih dekat dengan Vierra dibandingkan papanya sendiri. Menurutnya Vierra punya daya tariknya sendiri untuk mendekatinya. Benar kata Leoni, Vierra sama sekali tidak menunjukkan rasa ketidaksukaannya, justru lebih membimbing dirinya agar menerima Vierra sebagai sosok mamanya sekarang.
Si bungsu Hendrick tidak pernah rewel jika ia mengendongnya. Padahal Vierra sendiri yang bilang jika Raquel selalu menangis ketika orang lain mendekat. Ucapan Kai jangan pernah dipercayai. Jelas Raquel menangis saat dirinya main dengan mereka.
"Mungkin mereka ada rencana mau pindah, tapi masih belum kesampaian. Sabar aja," ucap Rio.
Aludra mengangguk pelan. "Tapi kita beneran gapapa mainan ginian? Kan disuruh nyari tau tentang bangunannya," ucapnya melirik bangunan tua itu lagi. Mulai timbul rasa bersalah dalam hatinya.
"Mau cari tau gimana? Pintunya berat, mau kita dorong berlima pun gak akan kebuka. Pasti ada yang ganjel dari dalam biar gak ada orang yang masuk." Rio menunjuk jendela yang tingginya melebihi dirinya. "Jendelanya udah berkarat juga, bakalan susah dibukanya kalo gak ada pelumas," alasannya.
"Di mobil gue ada oli," sahut Kai semangat.
Entah sejak kapan Kai jadi sering keceplosan, ingin rasanya Rio mencabik mulutnya itu. Memberi tanda agar menarik omongannya kembali.
Cukup bermainnya, Aludra bangkit dari jongkoknya sembari membersihkan roknya. "Lo bilang pasti ada yang ganjel 'kan? Berarti ada orang dong di dalam." Nada ucapannya semakin memelan.
"Bisa jadi ada pintu lain selain ini," tambah Kai mengikuti langkah gadis itu. Melirik sisi bangunan lainnya. "Tapi anehnya gak ada pintu lagi. Cuma pintu yang gede ini," ujarnya. Sedikit bergidik karena udaranya yang cukup mencekam.
Rio menepuk tangannya, membersihkan debu. "Gue masih belum pastiin. Kayak yang Al bilang, jenis tanahnya berair. Bisa aja bangunannya mulai agak masuk ke tanah. Itu yang bikin pintunya gak kebuka," terkanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cassiopeia : Nayanika ✔️
Mystery / Thriller[Seri Kedua Cassiopeia] Setelah tiga bulan Ace mengetahui bahwa ibunya telah dibunuh seseorang. Pembunuhnya nyata, namun motifnya tidak jelas. Membiarkan dirinya kalut dalam kebingungan sampai seseorang membujuknya untuk mencari tahu semuanya. *** ...