-II--

9 1 0
                                    

*
*
*

Cahaya matahari mengusik tidur lelap pemuda yang tampak kelelahan. Ia cukup pusing dengan segala yang terjadi dua minggu kebelakang.

Sejak sebuah surel datang kedalam akun emailnya.

Surat elektronik itu tak menimbulkan virus atau hal-hal yang merusak smartphone miliknya, namun hati dan pikiran.

Isi yang tertera didalam surel dari akun Rsn.raline@gmail.com hanya dokumen. Benar. Dokumen.

Dokumen yang menyatakan bahwa ia memiliki saudara yang bahkan kembar berbeda sehari dengan nama Resena Arkaela Seinselara-Yukline.

Tentu hal itu membuat sang Empunya kebingungan, selama ini hidup sendiri di panti asuhan membuatnya kelimpungan ketika dihadapi dengan kenyataan bahwa Dia memiliki keluarga, apalagi saudara kembar.

Ketika otaknya mulai kembali berjalan, segera dicarinya nama sang kembaran dari mesin penelusuran.

Dan ada.

Entah bersyukur atau apapun itu. Tidak dipungkiri, Kenan senang mengetahui sedikit tentang keluarganya, namun tak ayal rasa minder datang merasuk.

Melihat betapa besar nama sang saudara di mata Negara dan Dunia. Kenan takut.

Takut tidak pantas bersanding dengan nama besar itu, takut Resena akan memandangnya rendah.

Namun segera pikiran itu tertepis, melihat nama akun pengguna. Kenan yakin. Sangat yakin, bahwa pengirim email pasti Resena sendiri, yang diartikannya sebagai Resena menerima dan berusaha kembali berhubungan.

Maka Kenan tak akan ragu menarik uluran tangan Resena untuk kembali terhubung. Bukan sebagai Kenan, namun Rakhael Arseana Seinselara-Yukline. Saudara kembar Resena, yang sudah terpisah 12 tahun lamanya.

Dengan kata tambahan di bawah link dokumen.

'Salam kenal, Rakhael. Tolong jangan bercerita pada siapapun hingga semuanya selesai dan kau secara resmi kembali. Aku selalu mengawasimu. Akan ada dana yang kukirim untuk keperluan pribadi yang kau butuhkan. Semoga kita segera bertemu'.
-Resena

Kesan yang Rakhael dapat tentang kembarannya dari sebaris kalimat itu sederhana. Dingin namun manis.

Setelah puas melamunkan waktu yang telah lalu, Rakhael memutuskan segera beranjak untuk menyiapkan segala kebutuhan bersekolahnya.

Ketika telah sampai diambang pintu, ia terdiam memikirkan apa yang sekiranya tertinggal. Dirasa cukup siap, langsung bergegaslah kaki untuk melangkah ke tempat menuntut ilmu.

'Meski tak sepintar Sena, aku masih bisa mengejarnya perlahan'. Batin anak laki-laki itu riang.

Sapaan lelaki dengan seragam menengah awal sangatlah cerah dan riang. Semua yang disapa merasakan bahagia yang menjalar pelan di kalbu. Menegaskan semangat remaja yang ingin bersekolah, semangat menjalani jam-jam selanjutnya.

Itulah Kenan Malka. Remaja riang kebanggan sekolah. Pintar, baik, beretika. Benar-benar bunga.

"Kenan!". Kenan sedikit tertunduk mendapati seseorang merangkul bahunya.

"Alan, masih pagi, jangan ribut". Teguran Kenan membuat Alan tertawa. Temannya murid beretika, ia tak lupa. Hanya saja, kebiasaan itu sudah lama ada diantara mereka. Dan Alan tidak mau merubahnya.

"Kita gak ribut Ken, buktinya tidak ada yang menegur. Kecuali kamu, sih". Alan menyanggah perkataan Kenan, tentunya benar.

"Iya, iya. Lan, kira-kira yang lain sudah ada belum, ya". Kenan bertanya sembari menatap Alan. Yang ditatap menangkat kedua bahu. Isyarat tak tahu.

"Memang kenapa, Ken?". Tanya Alan penasaran.

"Tidak, hanya mau memberi tahu masalah kompetisi".

"Oh, masalah siswa berprestasi, toh. Aku tidak akan ada kaitannya, sih". Acuh Alan.

"Kamu juga bisa kok, Lan. Kamu, itu pintar. Cuma memang agak malas. Banyak loh, Bapak Ibu guru yang mau mendaftarkan namamu untuk lomba, cuma kamu tolak kan?".

"Gak sepintar kamu. Iya, aku tolak. Aku ngerasa percuma aja ikut banyak lomba seperti kamu. Hanya dapat capek".

"Pengalamannya didapat juga dong, Alan. Pasti Kak Liam sama Bapak juga senang kalau kamu banyak ikut lomba, meski hasilnya gak memuaskan ekspektasimu".

"Iya, iya anak pintar. Nanti akan ku bicarakan dengan guru-guru kita". Pasrah Alan, berdebat dengan Kenan yang merupakan penghasut ulung memang tak mungkin menang.

Kenan tersenyum puas, Ia menyeret Alan untuk mempercepat langkah menuju kelas. Pelajaran pertama sedikit menyebalkan bila terlambat. Dan Kenan tak suka dipermalukan karena terlambat.

***

Resena memasuki rumah Kakeknya. Menelusuri bangunan yang sangat familiar sejak ia kecil. Otentik dengan warna putih bergaya Eropa. Tempat yang dulu selalu Ia anggap kastil.

"Kakek, Sena disini". Ucap Resena pelan di depan pintu jati dengan ukiran Bunga Kamboja.

"Masuklah, Resena". Suara orang tua yang masih kuat terdengar.

'Suara Kakek juga tak berubah, ya'. Pikir Resena dengan senyum kecil.

Melangkahlah kakinya setelah mendapat izin. Didapati sang Kakek tengah meminum teh sembari menatap pekarangan. Menunggu kehadiran Resena untuk berbincang.

"Jadi, apa kabar. Cucuku?". Seperti biasa, berbasa-basi adalah hal wajib dalam keluarga ini.

"Tentu saja baik, Kakek. Kakek sendiri? Sena mendengar obat Kakek habis, akan segera Sena kirim kembali". Ujar Resena dengan senyum tak luntur.

"Cucu kurang ajar! Harusnya kau mengirim obat sebelum obat Kakekmu ini habis. Mau mengancamku lagi, huh?". Kekeh orang tua itu serak.

"Tidak, Kakek. Sena minta maaf untuk itu. Namun tolong ingat, obat itu akan berhenti tiba jika Kakek mengacau. Tolong, tepati janji Kakek". Resena menatap Kakeknya bersalah hanya sepersekian detik sebelum mendingin.

"Begitukah caramu menatap Kakek, Resena? Kau tampak tak ragu membunuhku malam ini juga". Sinis sang Kakek.

"Apa yang Kakek bicarakan? Sena tidak akan melakukan hal itu".

"Haha..., cucuku memang sangat baik, anak baik tidak akan melukai keluarganya, kan. Resena?"

"Benar, Kakek". Resena hanya tersenyum sepanjang berdialog dengan Kakeknya.

Meski dikepala ia membalas dengan jawaban yang bertolak belakang.

***

"Jadi, bagaimana dengan Yukline itu? Apa yang kau dapat Guenli?". Tanya pria yang sedang duduk di kursi tunggal kebesarannya.

"Sejauh ini tidak ada masalah Pa, serahkan saja semuanya padaku".

"Baik. Ingat selalu Guenli, Resena itu bukan rekanmu. Ia musuh yang harus kau peralat. Jika dia mulai melenceng dari perjanjian yang ada, jangan ragu menyingkirkannya".

"Tentu, Pa".

Kedua pria tersebut saling menatap dan segera berpisah. Terlalu banyak hal yang keduanya miliki untuk diselesaikan.

Guenli melangkah keluar, seolah itulah tempatnya. Diluar gedung megah yang tak bisa ia sebut rumah, meski secara fisik itu memang rumahnya.

Karena sejak awal, Guenli bukan bagian dari rumah yang dibangun sang Papa.

Tidak sejak Mamanya tiada.

***

Connecting ThreadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang