Fakta kalau IPK gue semester ini turun 0,2 dari semester lalu beneran bikin gue shock. Gue udah belajar mati-matian sejak semester pertama, meskipun tanpa paksaan, tapi semua itu gue lakuin supaya perkuliahan gue mulus-mulus aja.
Tapi gue akuin kalau tujuh puluh persen mahasiswa yang kuliah di sini memang dipenuhi ambisi dan tuntutan orang tua, gue sangat beruntung karena tidak dikaruniai point kedua.
Kenyataannya emang benar bahwa hidup itu mengalir seperti sungai, ada aja tai yang lewat.
Sekarang gue disibukkan dengan persiapan belajar buat kuis yang diadain hampir setiap minggu sama dosen aneh di kelas, tapi gue seneng karena di semester tiga ini, akhirnya gue ditemenin sama pacar yang baru lulus SMA dan berhasil masuk kampus yang sama.
Gue menghabiskan kopi di gelas ketiga yang pacar gue pesan. Iya, gue belajar di kafe ditemenin sama dia, Danesa namanya. Entah siang ini dia udah ketiduran berapa kali tapi yang jelas dia selalu bangun di sedotan terakhir kopi gue, kayanya suara minum gue gak senyaring itu juga?
Sekarang pacar gue yang rambutnya udah panjang dan nutup setengah pandangannya itu lagi nyandarin kepala ke atas meja, matanya menatap malas ke arah gue dan buku paket tebal yang dari pagi tadi terus-terusan gue coret.
Di dekatnya ada piring kotor berisi remahan kue coklat yang gak dia habiskan, jangan tanya gue itu piring keberapa karena gue pun gak tau, gak ngitung.
"Kak Sadam..." Ucap Danesa tiba-tiba sambil menarik ujung kaos yang gue pakai.
Gue menanggapi panggilan Danesa dengan deheman pelan, tanpa melepas fokus dari buku yang ada di atas meja.
"Kak Sadam..." Panggilnya lagi, kali ini dia menarik ujung kaos gue berulang kali, mau gak mau gue nengok ke arahnya.
"Kenapa, Danesa?" Tangan kiri gue refleks merapikan rambut pacar gue yang keliatan berantakan, kayanya gue harus nemenin dia cukur dalam waktu dekat.
Danes kini memejamkan mata seiringan dengan jari gue yang mengarah ke rambut yang menutupi matanya.
"Mau pulang, bosen." Bibir pacar gue mengerucut saat menyatakan keluhannya itu, gue beneran gak bisa nahan diri buat gak ketawa, sumpah... pacar gue lucu banget.
"Bentar ya, aku habisin bab ini dulu, terakhir kok." Gue kembali fokus ke buku di depan gue setelah mengusap lembut pipi Danesa.
Kali ini Danesa menyandarkan kepalanya ke bahu gue, sebenernya gak ada yang nyuruh dia buat nemenin gue belajar di minggu siang ini, cuma dia maksa ikut karena katanya kangen. Padahal kita hampir setiap hari ketemu karena sering gue anter jemput.
Gue akhirnya membereskan alat tulis yang ada di atas meja, Danes terlihat senang dengan tindakan gue.
Setelah selesai masukin buku dan segala peralatannya ke dalam tas, Danes buru-buru berdiri kemudian menarik tangan kiri gue untuk dia gandeng keluar dari kafe yang mostly diisi oleh orang yang sibuk sama laptopnya.
"Aku hampir mati bosen tau di dalem, aku tuh mau pacaran sama kakak!" Omelnya tepat setelah menutup pintu kafe.
"Mau kemana emang?" Sekarang kami berjalan beriringan ke arah mobil yang diparkir di lahan terpisah gak jauh dari kafe, tentu dengan tangan kanan Danesa yang gak bosan menggandeng tangan kiri gue.
"Kemana aja! asal kakak gak terus-terusan tuh ngeliatin buku yang tebelnya ngalahin dompet papaku." Omelnya lagi, kayanya hari ini stok omelan pacar gue jauh lebih banyak dibanding hari sebelumnya, Danesa jarang protes perihal gue yang amat sangat gila belajar ini.
***
Kami udah pacaran satu tahun lebih, Danesa yang nyatain perasaannya duluan karena gue pikir gue akan menghabiskan masa remaja hanya dengan belajar atau rapat organisasi, tapi di penghujung masa gue menyabet titel anak SMA, Danesa tiba-tiba nyamperin gue, tanpa bawa apapun waktu itu.
Gue masih ingat gimana ekspresi groginya, tangannya yang keringetan narik tangan gue buat dia bawa ke taman belakang sekolah.
"Kak Sadam, aku pasti bakal nyesel kalo gak bilang ini sekarang karena minggu depan aku udah libur dan angkatan kakak mulai fokus buat ujian praktek dan semacamnya-"
Ucapan Danes menggantung, tangan kanannya sibuk meremat tangan kirinya bergantian, seragamnya udah nempel ke punggung karena keringat yang berlebihan, tapi Danes masih terlihat lucu dengan pipi merah menahan malu.
Sedangkan gue masih diam, seolah nyuruh anak manis di depan gue buat terus ngelanjutin ucapannya yang tertahan.
"Aku... suka sama kakak. Suka, banget." Lanjutnya, kini Danes menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan berat, bahu yang tadinya tegang perlahan turun seolah beban yang selama ini mengganggunya terangkat.
Kali ini gue beneran gak bisa nahan diri buat ketawa.
Sama sekali gak pernah terlintas di pikiran gue kalau adik kelas yang banyak diincar kakak serta adik tingkat ini bakal nyatain pertanyaannya ke gue, murid anti sosial yang temennya hampir nol.
Kalau gue dan Danes gak masuk organisasi yang sama mungkin gue gak akan kenal sama dia karena gue jauh lebih suka belajar dibanding bergaul dengan manusia.
Awalnya gue pikir Danes gak akan tahan sama kepribadian aneh gue, tapi faktanya ini udah masuk tahun kedua dan kita masih bertahan sama-sama.
Gue akui kalau Danes sangat menghargai apapun keputusan gue dan gue juga berusaha buat ngelakuin hal yang sama ke dia.
Gue gak pernah menuntut Danesa, begitu juga sebaliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sorrow [Damdo]✔
ФанфикSay before it's late, Love before it's gone. at least they had a chance to do whatever they want until the right time to say goodbye. ⚠️ major character death ⚠️