Mama Danesa langsung terlihat tepat setelah Bang Fauzi menghentikan mobilnya di depan IGD rumah sakit, beberapa petugas membantu gue untuk membawa Danesa keluar dari mobil.
Danesa yang hampir pingsan itu menolak tawaran naik kursi roda yang udah disiapin dan Bang Fauzi yang gregetan langsung gendong dia karena sumpah Danesa tuh banyak protesnya padahal dia lagi gak baik-baik aja.
Dokter jaga langsung menuntun kita supaya membaringkan Danesa di atas brankar, gue menyingkir memberi ruang agar dokter bisa lebih leluasa, jangan tanya gimana paniknya karena Bang Fauzi yang kuat aja udah nangis sejak di mobil.
Mama Danesa ikut berdiskusi sama dokter jaga sedangkan gue memandang wajah Danesa dari kaca luar ruangan, dia sempat meringis kesakitan pas dipasang infus di tangannya tadi. Tanpa sadar air mata gue juga ikut keluar, gue gak tega liat dia kesakitan di sana.
Sedangkan Bang Fauzi sibuk menghubungi Kak Arjuna, gue akhirnya duduk di kursi yang tersedia setelah melihat Danesa mulai tenang dan tertidur dari balik ruangan.
Beberapa saat kemudian Mama Danesa akhirnya keluar, gue dan Bang Fauzi langsung berjalan ke arah beliau.
"Danes gimana, Ma?" Tanya Bang Fauzi, raut Mama Danesa beneran susah banget buat dijelasin, ada ekspresi sedih di sana tapi tatapannya seolah menenangkan dan gak mau bikin kita khawatir.
"Nanti kita bahas kalau Papa sama Juna dateng ya, kalian udah makan?" Gue dan Bang Fauzi otomatis mengangguk, Mama Danes akhirnya menepuk pundak gue dan masih dengan senyum khas yang terukir jelas di wajahnya.
"Kalian temenin Danes dulu di dalam, Mama mau ke tempat Papa. Fauzi nanti telfon Mama kalau ada Juna, Papa kamu masih ada praktek sampai jam enam." Kami berdua lagi-lagi mengangguk lalu Mama Danesa berjalan menjauh setelahnya.
Gue menarik napas panjang sebelum akhirnya berjalan ke arah Danesa yang masih berbaring di atas brankar, diikuti Bang Fauzi di belakang.
Danesa akhirnya buka mata tepat setelah gue duduk di kursi yang ada di sebelahnya, dia langsung tersenyum ke arah gue. Senyumannya masih manis bahkan dengan bibir pucatnya itu.
"Good morning." Ucapnya bercanda, tangan gue bergerak buat hapus keringat di keningnya.
"Masih sakit?" Tanya gue, Danesa menggeleng.
"Kan udah diobatin."
Bang Fauzi yang dari tadi diam akhirnya maju dan langsung nyentil jidat Danesa, "Lo tuh Nes, kalo sakit ya berobat jangan nunggu parah dulu biar bisa masuk IGD." Omelnya, Danesa diam dan langsung cemberut setelahnya.
"Lo harus tau gue juga hampir pingsan liat lo sekarat gitu tadi, gimana kalo misalnya kita telat bawa lo ke rumah sakit? gue gak akan berhenti nyalahin diri gue sendiri Nes kalo lo kenapa-kenapa." Gue paham betul seberapa khawatirnya Bang Fauzi, di jalan bahkan kita beberapa kali hampir nabrak orang karena dia mau kita cepet-cepet sampai.
"Ya ini gue udah gapapa, Bang." Cicit Danesa, kali ini gue gak membela karena pacar gue emang bebal banget sekarang.
"Yaudah gue mau ke kantin buat beliin Danesa bubur, lo mau nitip apa Dam?"
"Nasi goreng! nasi goreng di sini enak loh Kak Dam, aku sering nitip Papa kalo lagi pengen, cobain ya?" Ucap Danesa menggebu-gebu, gue cuma mengangguk mengiyakan.
"Jangan ditungguin, gue lumayan lama karena mau nunggu Juna di sana." Pesan Bang Fauzi sebelum akhirnya pergi meninggalkan kami berdua.
Beberapa menit kemudian Dokter jaga datang dan ngabarin kalau Danesa harus ikut beberapa tes sebelum akhirnya dipindah ke ruang rawat inap, gue mengangguk paham sedangkan Danes cuma diem dari tadi, ketakutan jelas terlihat di wajahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sorrow [Damdo]✔
FanfictionSay before it's late, Love before it's gone. at least they had a chance to do whatever they want until the right time to say goodbye. ⚠️ major character death ⚠️