"Nak temenin terus Danesnya, ajak ngobrol terus ya."
Gue terus menepuk pelan pipi Danes, berusaha sekuat mungkin supaya dia tetep bangun dan gak kehilangan kesadaran.
"Danesa, denger kakak kan?" Gue berusaha tenang padahal aslinya udah panik setengah mati, tadi pas kami baru aja sampe rumah tiba-tiba Danesa jatuh dan hampir ngebentur lantai kalau aja gue gak refleks buat nahan badan dia.
"Kak Sadam, aku pusing kak" Ucap Danesa dengan mata hampir tertutup.
"Sabar ya, bentar lagi sampe."
"Ngantuk banget, pusing juga, mau tidur bentar gak boleh?"
Debar jantung gue udah naik berkali-kali lipat, wajah pucat Danesa di pangkuan beneran bikin gue gak bisa mikir apa-apa selain dia.
"Gak boleh, bentar tahan dulu ngantuknya ya sayang." Ucap gue dengan nada setenang mungkin supaya pacar gue juga gak ikutan panik.
"Kak Sadam..." Suara Danesa udah pelan banget, bahkan hampir gak bisa gue denger.
"Iya Danesa?"
"Tau gak hal apa yang bikin aku suka sama Kak sadam?" Ucap Danesa dengan sisa tenaga yang gue punya, tanpa sadar air mata gue ngalir gitu aja.
"Apa?"
"Aku suka sama kakak yang selalu tenang di tiap situasi, tapi tadi aku liat kakak sepanik itu pas aku jatuh hehe, baru pertama kali liat..."
"Sakit ya? kamu kesakitan banget nes?"
"Nggak, gak sakit kak. Pusing dikit aja." Tangan Danesa terulur buat hapus air mata yang makin banyak di pipi gue.
"Bentar lagi diobatin ya, tahan pusingnya ya Danesa..."
"Iya kak Sadam."
Kami akhirnya sampai di rumah sakit dalam waktu singkat, gue mau kasih tepuk tangan buat Papa Danes karena biasanya jarak dari rumah Danesa ke rumah sakit butuh waktu hampir satu jam, tapi kita berhasil sampai kurang dari setengah jam.
Bang Fauzi yang mengendarai mobil terpisah langsung membuka pintu seat tengah, ia berlari membawa Danesa di punggungnya. Gue buru-buru menyusul di belakang, bersama Kak Arjuna dan kedua orang tuanya.
***
Jadwal operasi pacar gue dipercepat karena kondisi dia yang makin parah. Gue gak punya pilihan apapun kecuali ikut ambil cuti kuliah karena gue beneran gak bisa kalau harus membagi fokus antara kuliah dan Danesa.
Untungnya kedua orang tua gue gak melarang, mereka justru bersyukur karena gue seolah punya tujuan selain dapet A di setiap mata kuliah.
Setelah menjalani berbagai tes akhirnya Danesa disuruh puasa sebelum operasi dia besok siang, gue baru masuk ke ruang rawatnya setelah makan bareng Papa Danesa dan Kak Arjuna di kantin rumah sakit.
"Hai, udah kenyang?" Sapaan manis Danesa masuk ke telinga tepat setelah gue membuka pintu, senyum manisnya yang gue pikir gak akan bisa gue liat lagi setelah kejadian dia collapse tadi terlihat cerah di tengah mendung yang terus hadir di hidupnya.
Hati gue mencelos, sedih banget liat kondisi pacar gue sekarang. Dia terus pura-pura kuat padahal lagi nahan sakit yang gue sendiri gak bisa bayangin separah apa.
Gue mengangguk sambil berjalan ke arahnya, duduk di sisi kosong sebelah ranjangnya dan langsung meluk dia erat, seakan ini adalah pelukan terakhir kita.
"Maaf ya bikin Kakak khawatir." Gue diam, mengangguk pelan tanpa suara. Dengan jarak sedekat ini gue bisa ngerasain detak jantung Danesa yang berirama pelan di hadapan gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sorrow [Damdo]✔
FanfictionSay before it's late, Love before it's gone. at least they had a chance to do whatever they want until the right time to say goodbye. ⚠️ major character death ⚠️