forget

348 60 0
                                    

Gue terbangun karena suara berisik dari tv yang ada di sudut ruangan, memandangi pacar gue yang terlihat sibuk membolak balik buku catatan yang dia ambil dari nakas sebelah ranjangnya. Gak lama kemudian dia berhenti dan menatap gue dengan wajah kebingungan.

"Lo temen abang gue, ya?"

Deg

Gue kaget setengah mati, tapi gue berusaha sebisa mungkin untuk tersenyum dan mengangguk mengiyakan.

"Ah pantesan, sorry ya kalo gue lupa. Abang gue balik ke sini biasanya jam lima lewat, gapapa nunggu?" Gue mengangguk lagi, masih dengan senyum yang dipaksakan.

Keluarga Danesa sempat ngasih tau gue soal kemungkinan ini, soal Danes yang mungkin akan lupa tentang beberapa hal penting di hidupnya, atau bisa juga nanti pacar gue tiba-tiba kejang, atau kemungkinan lain akibat sakit yang dideritanya.

Gue tersenyum ketir karena dari semua kemungkinan yang ada, Danesa malah ngelupain gue.

"Lo gapapa?" Kepala gue terangkat denger pertanyaan Danesa, gue mengangguk pelan masih dengan senyum yang masih dipaksakan.

"Gue boleh minta tolong ambilin susu yang ada di kulkas itu gak? Gue haus banget tapi males minum air putih." Ucap Danesa sambil menunjuk kulkas yang ada dekat kamar mandi, gue langsung beranjak dan menuangkan susu ke dalam gelas kecil yang disediakan rumah sakit.

"Butuh apa lagi?" Tanya gue setelah mengoper gelas berisi susu ke pacar gue yang masih betah duduk di atas ranjangnya.

Danesa langsung menenggak susu yang ada di tangannya, namun belum sampai habis tiba-tiba dia berhenti.

"Kenapa?" Gue bertanya lagi, raut wajahnya tiba-tiba berubah. Danes buru-buru meletakkan gelas ke atas nakas di sebelahnya.

"Kak Sadamㅡ" Belum selesai pacar gue bicara, dia langsung narik pinggang gue dan meluk gue erat.

"Maafin akuㅡaku gak bermaksud lupain Kakak, akuㅡ" Danesa menangis sesenggukan di pelukan gue, gue langsung mengelus kepalanya menenangkan.

"Gapapa, gapapa Danesa." Ucap gue selembut mungkin, pacar gue masih nangis bahkan gue dapat merasakan air matanya menembus masuk ke dalam kemeja yang gue kenakan.

Akhirnya Danesa menarik kepalanya dari pinggang gue, kedua netranya menatap gue dengan penuh rasa bersalah. Tangan gue terulur untuk menghapus sisa air mata di pipinya yang entah sejak kapan udah gak sebulat dulu.

"Gapapa, aku paham you can't control it either." Danesa mengangguk, tangan gue yang ada di pipinya langsung diraih dan dibawa ke genggaman.

Gue terus tersenyum di depan Danesa padahal dalem hati ya udah lumayan berantakan, dilupakan sama pacar sendiri walau cuma hitungan menit bikin gue ngerasa... gak berguna. Apa ini karma karena gue sering nyuekin dia?

Tanpa sadar mata gue ikutan basah, tapi gue buru-buru menghapusnya sebelum ketahuan Danesa dan bikin dia makin ngerasa bersalah.

"Kak Sadam udah makan?" Tangan kanan gue masih betah di genggaman Danesa, gue menjawab pertanyaannya dengan gelengan pelan.

"Makan dulu ih! Aku titip abang ya? Kak Dam mau makan apa?"

"Yang enak apa?"

"Mau mekdi gak sih Kak?"

"Kok gitu nanyanya? Emang kamu mau juga?"

"Ya mau... tapi pasti gak akan dibolehin." Bibir pacar gue mengerucut setelahnya, lucu banget. Udah lama gak liat Danesa ngambek gini.

"Yang lain aja, kamu boleh makan apa?"

"Toast! Kata Mama gapapa makan roti, Kak Dam mau?" Gue mengangguk mengiyakan, akhirnya pacar gue menjauh setelah melepas pelukan. Dia meraih handphone yang ada di sisi lain ranjang dan mulai menghubungi Kakaknya.

Sementara gue merapikan buku tugas yang masih ada di atas meja, setelah selesai gue kembali berjalan ke arah Danesa dan duduk di kursi yang ada di sebelahnya.

"Kamu di sini sampe kapan, Nes?"

Pacar gue yang masih sibuk sama handphone nya terlihat berpikir sebentar sebelum akhirnya menjawab, "Aku sekalian mau kemo kedua, Kak. Minggu depan baru pulang kayaknya."

Gue mengangguk paham, gue tarik napas berat lalu bersandar ke bagian belakang kursi yang gue duduki. Danesa mendekat, tangannya bergerak buat menyingkirkan poni yang udah hampir menutup mata gue.

"Tumben belum cukur?" Gue masih diam, enggan menjawab pertanyaan yang dia lontarkan. Entah kenapa tiba-tiba ada sesak di dada gue, mengingat soal kejadian tadi dan perkataan Bang Fauzi tempo hari.

Keadaan Danesa makin parah, gue harus siap sedia di sampingnya. Gue udah mulai disibukkan dengan perkuliahan awal semester yang kedepannya bakal menyita banyak waktu, gue pusing dan takut gak bisa menyempatkan diri buat ketemu Danesa.

Gue juga gak mungkin mengulang kesalahan gue sebelumnya, gak ada di sebelah Danesa di saat dia lagi butuh. Kepala gue pening mikirin hal-hal buruk yang mungkin bakal terjadi.

Tangan Danesa beralih ke pipi gue, menghapus air mata yang tanpa gue sadari udah turun gitu aja. Gue masih belum mau buka mata, gue seolah gak punya keberanian buat menghadapi Danesa.

Sampai tiba-tiba gue kembali mendengar suara tangisan Danesa, rintihannya terdengar menyakitkan di telinga gue. Dan bener aja, pas gue buka mata ternyata pipinya udah basah. Lagi-lagi Danesa nangis dan gue penyebabnya.

"Kak Sadam maafin aku..." Danesa tertunduk, kita berdua gak berani buat natap wajah masing-masing.

Gue bangun dari kursi dan duduk di pinggir ranjangnya, kembali menarik Danesa masuk ke dalam pelukan. Tangisan kami emang gak berlangsung lama dan faktanya beban di dada gue gak berkurang sedikitpun setelah tangisan tadi.

"Dek..." Bukannya menyahut, Danesa malah ketawa denger panggilan dari gue.

"Udah berapa kali sih aku bilang, jangan panggil Dek. Kamu kayak abang-abang berseragam aneh yang ngechat perawat random di instagram." Protes Danesa panjang lebar, omelannya keras banget padahal dia baru aja nangis barusan.

"Padahal pas sekolah juga sering aku panggil Dek." Danesa mengendurkan pelukan, sekarang dia lagi natap gue dengan mata merahnya.

Bibir kecilnya terangkat mengukir senyum indah di wajahnya, "Tapi sekarang mah alay."

"Dek." Ucap gue sekali lagi, meledek Danesa yang pipinya mulai merah.

"Berisik ih stop ngeledek!" Usaha gue mencairkan suasana ternyata gak sia-sia, tangisan yang belum lama keluar seolah menguar gitu aja.

"Janji ke aku ya, Nes."

"Janji apa?"

"Kabarin aku terus kalau kenapa-kenapa, kasih tau aku. Jangan sembunyiin sakit kamu sendirian, bagi ke aku juga." Danesa mengangguk lucu dan menyodorkan jari kelingking kanannya.

"Aku janji." Gue menautkan kelingking dia yang ada di hadapan dengan milik gue, sedikit menarik tangannya dan bikin dia makin mendekat ke arah gue.

Setelah jarak antara kami berdua terkikis, gue beranikan diri buat mengecup bibir pucatnya. Sekali, dua kali, tiga kali.

Bibir Danesa seolah candu, sekarang pacar gue tersenyum lebar sampai kedua matanya menutup kegirangan.

Rasanya gue pengen bikin waktu berhenti supaya perasaan bahagia kami sekarang kekal tanpa gangguan, hubungan gue sama Danesa bahkan belum genap dua tahun tapi udah terlalu banyak air mata yang keluar akhir-akhir ini. Meskipun gue selalu berusaha buat tenang di depan dia, tapi jauh dalam hati gue takut banget kehilangan Danesa.

Makin lama gue sadar kalau penyakit yang dideritanya bisa bikin Danesa pergi kapan aja dari hidup gue, usaha dia selama ini juga seolah sia-sia karena keadaannya justru makin buruk dari waktu ke waktu. Meskipun Ibu gue rahasiain, tapi gue tahu kalau Mama Danes sering cerita soal keadaan anaknya ke beliau soal sakit Danesa yang makin hari makin parah.

Keluarga Danesa gak pernah bahas ini ke Danes langsung, mereka cuma bilang kalau anak bungsunya itu keren karena bisa hadapin penyakitnya sampai sekarang. Satu bulan setelah vonis kanker, bukanya makin baik tapi malah naik ke stadium dua.

Kedua Kakak Danesa juga berulang kali ngingetin gue untuk terus ada di samping Danesa, dia butuh banyak dukungan dari orang-orang di sampingnya.

Dan gue khawatir gue gak bisa ngasih itu semua.

Sorrow [Damdo]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang