konflik

362 63 2
                                    

Musim ujian udah selesai dan gue yang harusnya udah nikmatin waktu libur justru terjebak bersama anggota kemahasiswaan buat urus pentas seni yang tertunda selama berbulan-bulan.

Harusnya acara ginian ada tiap September, tapi karena banyak hal akhirnya pihak kampus mutusin buat nunda acaranya sampe mahasiswa selesai ujian semester.

Sebenernya gue bukan anggota tetap, lebih ke anggota panggilan yang harus siap sedia kalau ada acara yang butuh banyak panitia. Maka dari itu, mau gak mau gue iyain karena banyak anak sekelas gue yang ikutan juga.

Dan berulang kali gue ingkarin janji gue sama Danesa, ah iya pacar gue akhirnya ambil cuti di semester dua, dia mau fokus sama pengobatannya dan emang harus begitu.

Entah gue harus bersyukur atau nggak karena ternyata kanker yang diderita Danesa masih ada di stadium awal, sesuai sama saran dokter dan orang tuanya, pacar gue udah mulai kemo minggu ini.

Sore nanti gue udah janji buat ke rumah sakit untuk nemenin dia, dan gue baru selesai rapat jam tujuh malam, jam besuk jelas udah habis tapi untungnya gue udah bawa ransel besar berisi keperluan gue buat nginep nemenin Danesa setelah kemoterapi pertamanya.

Gue menyusuri koridor rumah sakit dengan kresek minimarket di tangan kanan dan buket bunga aster di tangan kiri, gue bukan tipikal orang yang romantis tapi kebetulan di depan kampus berjejer toko bunga yang gak pernah gue singgahi sama sekali, dan gue berpikir kalo gak ada salahnya bawain Danes bunga untuk pertama kali.

Dengan susah payah gue berusaha buka pintu kamar rawat inapnya, dan lagi, gue disambut lagi sama cengiran lebar Danesa yang rasanya potretnya ingin gue abadikan di dalam foto yang tintanya gak akan bisa luntur.

Keadaan Danes masih sama kaya kali terakhir gue ketemu dia, tapi pipi bulatnya kini kelihatan lebih tirus, entah masih bisa gue gigit atau nggak.

"Katanya mau dateng sore, ini udah malem loh, jam besuk juga hampir habis. Kakak tuh sekarang sering bohongin aku deh, bohong itu gak baik kak, nanti hidungmu panjang kaya pinokio, jadi jelek terus-"

cup

Gue menghentikan celoteh panjang lebar Danes dengan kecupan singkat di bibirnya, pipi yang awalnya pucat kini mulai memerah.

"Bawel." Omel gue singkat, kemudian gue sibuk membenahi nakas di sebelah kanan ranjang Danes, merapikan snack yang tadi gue bawa ke dalam laci lalu menyodorkan buket yang sedari tadi masih ada di tangan kiri.

"Ini, jangan diketawain karena out of nowhere aku bawain kamu bunga, kebetulan lewat aja terus pengen beliin kamu." Danes masih melongo atas ciuman singkat tadi, tapi tangan kanannya perlahan maju menanggapi bunga yang gue sodorkan.

"Makasih kak Dam." Ucapnya, gue mengangguk kemudian menarik kursi untuk duduk di sebelah ranjang Danes, infusnya kini pindah ke tangan kanan. Tadi siang dia laporan kalau tangan kirinya bengkak karena jarum infus, memar biru terlihat jelas di sana.

"Sakit ya?" Gue berulang kali mengelus permukaan tangan Danes lembut, berharap sakitnya hilang seiring elusan ibu jari yang gue tau, ini gak akan memberi pengaruh banyak.

"Tadinya sakit, tapi setelah dielus kak Dam, sakitnya berkurang hehe." Masih dengan cengiran khasnya, Danes bolak-balik memandangi buket di pangkuannya lalu menatap wajah sendu gue, entah di sini siapa yang sakit tapi muka gue jauh lebih nelangsa dibanding Danes yang kemarin sore baru dikemoterapi.

"anyway kak, kamu mau kabur kah?" Danes menunjuk ransel besar gue di sofa pojok ruangan dengan heran.

Gue terkekeh pelan, "Aku mau nginep, biar selama weekend bisa di sini nemenin kamu."

Danes bersorak kegirangan lalu memeluk gue dengan kuat.

"Yes malem ini ada yang nemenin aku nonton pengabdi setan!"


***

Danesa berbaring menyamping di ranjangnya, sedangkan gue duduk di kursi rendah yang ada di sebelahnya, dengan kepala ikut bertumpu di atas ranjang Danesa dan tangan yang gak berhenti mengusap tangan bebas pacar gue yang gak terpasang infus.

Setelah selesai nonton film horror di laptop gue, akhirnya kita putusin buat tidur lebih awal karena emang pacar gue butuh banyak istirahat. Danesa juga sempet ngeluh mual tadi karena efek samping obat yang disuntik ke tubuhnya, makanya sebelum semua makin parah pacar gue harus tidur sebelum larut.

"Sayang, sembuh nanti kamu mau apa?" Pertanyaan gue yang tiba-tiba bikin pacar gue berpikir keras sebelum akhirnya menjawab.

"Mau apa ya Kak, mau lanjut kuliah sih yang pasti. Aku gak mau jadi adik tingkat Jeria." Gue terkekeh pelan, sebelah tangan gue terangkat buat usap kepalanya.

"Pas SMA kamu pernah bilang mau jadi pianis, udah diomongin sama Mama?"

Danesa menggeleng kecil, raut sedih langsung terlihat di wajahnya. "Aku gak mau bikin repot Mama lagi, Kak."

"Mau Kakak bantu bilang?"

"Gak usah, nanti Kakak juga ikutan repot. Kak Dam cukup nemenin aku aja ya, jangan sering ilang. Aku sedih banget kalo Kak Dam susah dihubungin, tapi aku gak protes karena itu emang konsekuensi yang aku dapet kan?" Hati gue rasanya kaya diiris denger omongan panjang lebar pacar gue, ngerasa bersalah karena terus ninggalin dia di saat dia butuh orang di sampingnya.

"Maafin Kakak ya?" Danesa mengangguk sambil tersenyum, matanya sesekali tertutup karena kantuk yang mulai menyerang.

"Kakak janji bakal luangin banyak waktu buat kamu."

Dan lagi-lagi keluar janji lain yang gak akan pernah gue tepati, harusnya gue tau kalau gue emang cuma bikin hidup Danesa tambah berat, padahal pacar gue selalu berharap banyak soal kehadiran gue di sampingnya, tapi gue bahkan gak bisa luangin waktu sedikit pun buat dia.


***


Setelah diopname hampir satu minggu, akhirnya Danesa pulang. Gue gak ikut nemenin karena hari acara makin deket, padahal gue juga harusnya udah gak bolak-balik kampus karena masih liburan semester, tapi kalau gak sibuk sehari aja rasanya badan gue gatel-gatel.

Janji lain yang gue ucap ke Danesa adalah soal malam natal yang niatnya kita habiskan bersama di rumahnya. Tapi sialnya acara yang gue urus mengharuskan panitianya buat berkumpul tepat di malam itu. Sebenernya gue bisa izin tapi gak enak karena gue adalah salah satu anggota penting di divisi acara.

Gue paham kalau Danesa bakal marah setelah ini, tahun kedua kita pacaran dan gak pernah sekalipun kita habisin malam natal sama-sama, mana ada orang yang gak marah dicuekin pacarnya terus-terusan kalau bukan Danesa?

Gue cuma terlalu beruntung karena dapet pacar sepengertian dia.

Seperti biasa rapat bakal terus ngaret karena ketua pelaksana emang hobinya bahas hal-hal yang gak penting, basa-basi lah, bercanda sana-sini lah. Kalau aja jabatan gue lebih tinggi dari dia udah pasti gue bakal rebut mic yang daritadi nempel di mulutnya terus bubarin kita semua.

Gue baru sampe rumah jam satu pagi, gak terlalu keliatan euforia natal di rumah gue karena emang biasanya kedua orang tua gue menghabiskan malam di rumah Oma yang jaraknya gak terlalu jauh. Mobil mereka belum ada di garasi yang artinya mereka belum pulang dari sana.

Setelah selesai mandi dan ganti baju, gue akhirnya duduk di atas kasur sambil pegang hape yang seharian gue cuekin, ucapan selamat natal dari kolega, ratusan missed call bahkan video call dari Danesa. Dan satu hal yang bikin jantung gue rasanya mau copot dari tempatnya adalah pesan terakhir dari pacar gue.

"let's break up."

Ajakan putus adalah hal yang gak pernah gue harapkan keluar dari diri Danesa.

Sorrow [Damdo]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang