Danesa

570 84 7
                                    

Gue berlari lumayan cepat dari gedung fakultas ke parkiran yang berada di ujung dekat gerbang, pacar gue yang lagi kurang sehat barusan ngasih kabar kalau dia mungkin gak akan kuat buat nyetir mobil ke rumahnya.

Akhir-akhir ini Danesa sering ngeluh perkara vertigo nya yang sering kambuh, stress karena banyaknya tugas yang dikasih dosen, katanya.

Padahal gue tau, penyakitnya itu bakal kambuh kalau dia kurang tidur. Dan sekarang pacar gue lagi ketagihan main Pokemon GO sampe pagi bareng si Awan. Siswa kelas tiga yang udah deket sama dia waktu masih satu SMA. Minggu lalu bahkan mereka rela naik kereta ke Bogor cuma demi nyari Pokemon yang katanya langka.

Parkiran gak terlalu penuh karena hari jumat memang biasanya cuma dipenuhi sama mahasiswa semester awal kaya gue dan Danesa. Mata gue langsung tertuju ke mobil Rush hitam yang ada di pinggir dengan mesin menyala.

Bisa gue lihat kalau pacar gue lagi bersandar ke setir di hadapannya sambil menutup mata, gue ketok kaca jendela dan ngasih kode supaya pacar gue itu buka pintu. Tapi mata bulatnya masih enggan terbuka.

"Danesa, buka pintunya." Ucap gue setengah berteriak, Danes akhirnya mengangkat kepala, tangannya terulur untuk membuka kunci pintu di sebelahnya.

"Sayang, pindah ke belakang dulu ya? Biar aku yang bawa mobil." Gue menunduk menjajarkan tubuh gue agar setara dengan Danesa yang masih duduk sambil mengelus pelan rambutnya.

Danesa menggeleng, meraih tangan kanan gue untuk dia kecup sebentar kemudian dibawa untuk digenggam dengan kedua tangan.

"Bentar, aku pusing banget." Gue menghembuskan napas berat, membiarkan posisi canggung ini untuk sesaat.

Gak sampe tiga menit, mata Danes mulai terbuka. Dia berdesis samar, tangan kanan gue kini berpindah ke pinggangnya, membantu pacar gue untuk bangun dan pindah ke seat sebelah.

Setelah selesai mengatur posisi jok agar pacar gue bersandar dengan nyaman, gue buru-buru berjalan ke arah kursi pengemudi dan kembali menengok ke arah pacar gue yang kembali menutup matanya, gue pasang seatbelt ke tubuhnya, tangan gue lagi-lagi terulur buat mengelus pipinya.

"Kak Dam daritadi megang aku terus, curi kesempatan karena aku lagi sakit, ya?"

"Jelas-jelas tadi kamu yang cium tanganku, loh?" Protes gue tidak terima.

"Ya gapapa, itung-itung latihan kalau nanti nyambut Kak Dam pulang kerja." Ucapnya diikuti dengan tawa pelan, gue ikut tersenyum mendengarnya.

"Aminin jangan?"

"Jangan, nanti Kak Dam jangan kerja lah, papaku udah kaya kan." Lagi-lagi Danesa tertawa, masih dengan mata yang betah terpejam, tangan gue turun untuk menggenggam tangan kanannya yang menggantung bebas.

"Dipegangin terus, gak akan kemana-mana aku kak." Gue masih heran, bisa-bisanya pacar gue terus melontarkan candaan sekarang. Tangannya dingin, keringat terus keluar dari tubuhnya padahal AC masih terus berhembus kencang di depannya.

"Kamu udah makan?" Tanya gue mengalihkan pembicaraan, Danesa mengangguk sambil membawa tangan gue ke arah pipi dan mengusap-usapnya di sana.

"Tangan Kak Dam hangat, aku suka." Gue masih betah memandangi pacar gue, Danesa itu jarang manja, kecuali kalau dia lagi gak enak badan. Dan akhir-akhir ini anak itu sering sakit, jadilah tingkat manjanya melonjak dan gue gak protes.

Karena Danesa lucu, pipinya tembam, bibir dan matanya bulat, bahkan hidungnya selalu terlihat lucu di mata gue, gak jarang gue gigit dan untungnya dia gak protes.

Kalau kata Jeria, gue itu budak cinta. Gue gak marah diberi julukan itu karena Danesa memang pantas jadi pangeran yang wajib diberi afeksi sebanyak-banyaknya.

Gerakan tangan Danesa perlahan memelan, diikuti dengkuran halus yang keluar dari mulutnya yang sedikit terbuka. Gue akhirnya menginjak gas dan mengarahkan mobil menuju ke rumahnya.


***

Kita diam beberapa saat di halaman rumah Danesa sebelum akhirnya pacar gue itu membuka mata, mengerjap pelan kemudian sadar kalau kita udah sampai.

"Loh udah di rumah aja?"

"Kamu ketiduran di parkiran tadi." Bibir Danes mengerucut sambil mengangguk paham.

"Udah enakan?"

"Udah, Kak Dam mampir dulu ya?" Gue mengangguk kemudian kami keluar dari mobil dan berjalan menuju rumah, jam segini biasanya rumah Danesa sepi. Paling cuma ada Kak Arjuna atau Bang Fauzi, kedua orang tua Danesa itu dokter yang udah punya rumah sakit sendiri.

Keren ya? Makanya gue gak protes kalau pacar gue bilang bahwa papa nya kaya raya.

Gue duduk di sofa ruang tengah, sedangkan Danes pamit untuk ganti baju dulu di kamarnya yang ada di lantai dua. Tangan gue sibuk memencet remote tv, mencari film bagus untuk ditonton bersama pacar gue nantinya.

"Nih." Gue dikagetkan dengan suara Danesa, di telapak tangan kanannya terdapat beberapa pil vitamin dan segelas air putih di tangan kiri.

Pacar gue emang rutin minum vitamin, dari kecil dia dibiasain buat hidup sehat sama orang tuanya. Gue mengambil vitamin tersebut dan menenggaknya dibantu air putih yang Danes sodorkan tadi.

"Mari hidup sehat bersama!" Ucap Danes sebelum akhirnya duduk di sebelah gue, kepalanya dibiarkan bersandar di bahu gue, tangannya bergerak lagi-lagi menarik tangan gue untuk dia genggam.

Perlahan dia memainkan jari gue, tapi gak lama Danes malah menekuk paksa jari gue sambil berharap ada suara yang keluar dari sana.

"Sakit, Nes."

"Loh kalo sakit tuh tandanya Kak Dam lagi gak sehat!" Ucapnya asal, gue berdecak pelan kemudian melingkarkan tangan gue ke bahunya, menarik kepala Danesa agar kembali bersandar di bahu gue.

"Ngaco, udah diem aja. Kita nonton horror supaya kamu keringetan terus jadi sehat." Entah teori dari mana tapi Danesa justru tertawa mendengarnya.

"Huh untung kamu pacarku Kak."

Sore itu akhirnya kami habiskan dengan menonton film horror yang sebenarnya sama sekali tidak memacu adrenalin karena gue jauh lebih takut dengan nilai di bawah rata-rata dibanding hantu tanpa kepala, sedangkan Danesa... apa ya yang dia takutin? Katanya sih kehilangan gue pas gue tanya waktu itu, ya dia gak tau aja kalau gue juga sama takutnya kalau-kalau nanti ditinggal Danesa.

Sorrow [Damdo]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang