piknik

338 63 2
                                    

Gue berusaha setenang mungkin saat menghubungi Mama Danes, meskipun kenyataannya gue panik setengah mati karena mimisan pacar gue tadi lumayan sulit berhenti tapi gue harus atur napas dan tetap tenang supaya nyokapnya gak sama paniknya.

"Kalau Danesa masih pusing kamu bawa ke RS aja Dam, Mama sama Papa masih ada praktek hari ini."

"Udah gapapa Danes nya, Ma. Aku juga mau bawa dia ke sana tapi Danes gak mau."

Dapat gue dengar tarikan napas berat Mama Danes dari ujung telepon.

"Mana Danesa coba Mama mau bicara."

Gue akhirnya mengubah mode telepon ke loudspeaker supaya Danes yang lagi tiduran di atas sofa bisa ikut denger omelan Mama nya.

"Danesa! berapa kali Mama bilang kalau ngerasa sakit ya kamu ke Dokter. Mama ikut pusing kalau kamu rebel gini tiap hari, ngeluh ini itu tapi gak pernah mau berobat."

Danesa masih diam, dia memandang gue dengan tatapan marah seolah siap nerkam gue kapan aja.

"Danes gapapa Ma, ini Kak Dam aja yang lebay padahal Danes mimisan karena kepentok tadi." Sekarang tangan Danesa terkepal dan mengarahkan tinjunya ke arah gue, tangannya bergerak dan memukul perut gue pelan.

"Mama gak pernah ya ngajarin Danes bohong."

"Nggak bohong Ma, beneran tadi Danes jatuh di dapur, liat cctv kalo gak percaya." Gue kaget, gue tau pacar gue kaya raya tapi gue gak tau kalo ternyata ada cctv di rumahnya.

Jelas tadi gue hampir cium dia.

"Awas bohong, Mama suruh Sadam buat gak ketemu kamu lagi nanti."

"Jangan gitu dong Ma, masa aku beneran kalah sama tugas-tugasnya!" Protes Danes gak terima, gue malah ketawa karena ikut diseret dalam urusan Ibu anak ini.

"Yaudah sana kamu istirahat, bentar lagi Mama pulang. Sadam mana Sadam?"

"Iya Ma?"

"Jagain Danes dulu ya, Nak. Mama sebentar lagi pulang. Kalau mau nginep gapapa nanti tidur di kamar tamu sebelah kamar Danesa."

"Iya Ma, Sadam temenin Danes sampe Mama pulang." Gue akhirnya memutus sambungan telepon, disambut dengan pukulan Danes di punggung gue yang lumayan juga ternyata sakitnya.

"Kenapa malah ngadu ke Mama?" Omelnya, mata bulat Danes kini melotot sempurna, pipinya merah menahan marah.

"Ya aku panik tadi? Kamu mana pernah mimisan coba?" Gue duduk lumayan jauh dari Danes, selain karena takut dipukul gue juga takut menimbulkan kesan buruk karena siapa tau di ruang tengah juga ada cctv yang bisa orang tua Danes pantau dari jauh.

"Kan jadinya aku diomelin! Kamu kenapa coba duduknya makin jauh gitu sini deketan!" Danes menarik tangan gue untuk dibawa mendekat ke arahnya.

"Anu itu... rumah kamu beneran ada cctv?" Tanya gue takut.

"Ada tapi di dapur sama gerbang depan aja, di dapur karena Kak Juna sering kehilangan cemilan jadi mau tau siapa yang ngambil, eh ini kamu takut ketauan Mama karena tadi mau nyium aku kah?" Gue hampir menyentil bibir Danes, mulutnya emang kadang susah dikontrol kaya sekarang ini.

"Aku pulang aja lah."

"Eh jangan dong masa aku ditinggal sendirian..." Gue akhirnya menunduk dan memandangi ujung hidung Danesa, darahnya udah berhenti tapi masih ada sisa kemerahan di sana.

"Kamu pusing nggak?" Danes menjawab pertanyaan gue dengan gelengan.

"Nggak, udah sehat aku, udah siap banget dicium Kak Sadam." Ucap Danesa sambil majuin bibirnya, bukannya nyium gue malah gregetan mau nyumpel mulut sembarangan pacar gue ini.

Sorrow [Damdo]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang