Kalau dari awal gue tau bahwa kehidupan mahasiswa akan se-fucked up ini, gue lebih memilih buat melanjutkan bisnis papa dibanding kuliah dengan tugas yang banyaknya bisa bikin gue jungkir balik kaya sekarang. Keuntungan bisnis beliau lumayan banget, bisa lah dipake buat modal nikah muda sama Danes.
Ngomongin Danes, sekarang anak itu lagi nunduk di depan gue, memamerkan kepala nya yang pitak sebelah. Gue beneran gak paham di mana letak lucunya tapi Danes cerita seolah-olah itu adalah hal yang biasa.
"Aku baru sadar tadi siang, kalo pitak gini bisa numbuh lagi kan kak Dam?" Tanya nya, dengan mulut yang masih sibuk ngunyah milo cube yang barusan gue beli di supermarket pusat kota.
Udah beberapa hari sejak Danesa selesai dari kemo keduanya, gue belum denger keluhan dia yang lain sih dan sekarang juga udah jarang kumat, all is well for now. Kecuali keluhan dia soal efek samping kemoterapi yang bikin rambutnya rontok parah kaya gini.
"Bisa kayanya, ini gak pitak Danesa. Rambutnya masih ada sedikit kalo kamu perhatiin, jadi masih bisa numbuh." Danes menghembuskan napas lega.
"Aku kira gak akan bisa numbuh lagi, tapi kalau gak bisa gitu gapapa kan kak? kamu gak malu kan punya pacar pitak?" Gue mati-matian menahan diri buat gak jitak kepala pacar gue, manusia waras mana yang malu kalo punya pacar selucu Danesa gue tanya?
"Nggak lah, mau kamu pitak sebelah atau botak sekalipun juga kamu bakal tetep jadi pacar aku yang mau aku pamerin ke seluruh dunia." Jawab gue sambil merapikan rambut Danes, beberapa helainya ikut jatuh seiring gerakan tangan gue.
Danes mencibir pelan, "Lebaaay, kamu bahkan jarang banget masukin fotoku ke instastory."
"Tapi feed instagram ku isinya foto kita semua loh!" Protes gue tidak terima.
"Oh ya? aku udah lama gak buka Instagram." Jawabnya sambil mulai cemberut, lucu banget.
"Kenapa gitu?" Tanya gue penasaran.
"Kepalaku sakit kalau liat layar lama-lama, sekarang aja aku dikit-dikit telfon Kak Dam kan, atau nyuruh Bang Fauzi biar gak perlu liat hape." Jawabnya lagi, masih dengan nada santai. Kali ini giliran gue yang menghembuskan napas berat.
"Kata Mama, aku bisa sembuh total. Tapi aku pernah denger dokter bilang kalau kemo kemarin hasilnya kurang bagus. Aku tau meskipun Mama nyembunyiin itu semua, kan yang sakit aku ya Kak Dam?" Lanjutnya lagi.
"Apapun hasilnya, yang penting kamu udah berusaha. Nggak ada yang namanya usaha sia-sia, dek." Ucap gue berusaha menenangkan ya meskipun gue tau kalau ini sama sekali gak membantu banyak.
Danes perlahan maju, mendekatkan diri ke gue yang duduk di hadapannya, mencari posisi nyaman dan perlahan dia nunduk lalu menyandarkan kepalanya di bahu gue. Dia meraih tangan kanan gue untuk digenggam kuat.
"Bener kata Jeje." Ucapnya tiba-tiba.
"Jeje bilang apa?" Tanya gue penasaran sambil mengusap tangan kecil Danesa dengan ibu jari.
"Kamu mirip abang-abang militer freak yang nongkrong di warkop depan."
Harusnya gue protes atau ketawa atas ucapan asal Danesa, tapi isakannya yang mati-matian dia tahan mulai terdengar jelas di telinga. Jadi ternyata, selama ini Danesa gak pernah baik-baik aja, dia cuma handal nyembunyiin perasaannya dari kita semua.
Gue mengusap punggung kecilnya, berharap usapan tersebut dapat ikut menyingkirkan segala penyakit yang ada di tubuhnya karena demi Tuhan, gue cuma pengen sama Danes dalam tenggat waktu yang lama.
***
Karena pacar gue masih tidur setelah nangis tadi, gue memutuskan untuk membuka laptop dan ngerjain beberapa tugas di meja belajar Danesa. Sesekali nengok ke belakang, memastikan apa pacar gue tidur dengan nyaman atau nggak. Biasanya kalo di rumah, gue ngerjain tugas sambil denger lagu supaya lebih fokus, tapi gue lebih memilih suasana tenang supaya pacar gue bisa tidur nyenyak.
Jangan protes karena di sini gue masih sibuk belajar ya, belajar itu prioritas paling tinggi buat gue sekarang. Apalagi semester empat ini bikin gue yang udah pusing makin pusing karena banyak mata kuliah yang lumayan asing buat gue terima.
Dan mendadak gue dikagetkan dengan suara Danes yang sedikit berlari ke kamar mandi, setelah memastikan bahwa file tugas gue udah tersimpan, gue nyusul dia ke kamar mandi yang ada di pojok kamarnya. Danes duduk lemas di dekat kloset setelah memuntahkan isi makanannya yang gak seberapa.
Sebelum makan tadi gue sempet nyuruh dia makan bubur yang dibawain abangnya, gue juga gak ngerti padahal yang sakit kepala tapi disuruh makan bubur terus, Kak Arjuna emang kadang seaneh adiknya.
Gue berjalan ke arah pacar gue, berjongkok di sebelahnya kemudian mengusap punggungnya perlahan. "Masih mual Nes?" Tanya gue.
Danes menggeleng. Dia kemudian berbalik menghadap ke arah gue, wajahnya pucat tapi hidungnya merah, tangan gue terulur buat menghapus air mata masih terlihat jelas di pipinya.
"Pusing ya?" Tanya gue lagi, kali ini Danes mengangguk. Gue kemudian mengalungkan tangan kanan Danesa ke bahu gue dan mulai menuntun dia untuk bangun, tangan kiri gue melingkar di pinggangnya, menahan agar Danes gak jatuh di perjalanan.
Perlahan gue baringkan Danes di kasurnya, "Haus? Mau minum?" Tawar gue setelah Danes selesai mencari posisi nyaman, lagi-lagi Danes menggeleng.
"Lanjutin aja nugasnya kak." Ucapnya singkat, "Aku mau merem, pusing banget kalo buka mata." Lanjutnya lagi.
Gue memilih buat ikut berbaring di sebelah Danes, dengan hati-hati meletakkan kepala Danes di atas tangan kanan kemudian menariknya lebih dekat. Berulang kali gue cium kening pacar gue, sementara tangan kiri gue sibuk mengusap kepalanya yang tertutup beanie hat hitam, salah satu oleh-oleh yang gue kasih sepulangnya gue dari Bromo pas perpisahan sekolah, gue ingat karena ada bordiran inisial nama kita di depannya. Iya, alay memang tapi gapapa.
Mata pacar gue masih terpejam, tangan kanannya kini melingkar sempurna di pinggang gue. "Nyanyi dong kak Dam." Mintanya tiba-tiba.
"Nyanyi? suaraku jelek, Dek." Tolak gue.
Danes mendengus, "Kamu dulu ketua padus ya, jangan bohongin aku." Protesnya, gue cuma bisa ketawa.
"Mau lagu apa?" Tanya gue, Danes masih diam sambil merapatkan pelukannya.
"Apa aja, yang penting bisa ngalahin suara detak jantung kakak yang kenceng banget ini." Hampir dua tahun pacaran sama Danesa, tapi tiap ngelakuin skinship kayak gini gak pernah gak bikin gue deg-degan, pacar gue peletnya lumayan kuat juga ternyata.
Gak lama akhirnya pacar gue tidur lagi setelah gue memutuskan buat nyanyi lagu Kucintai Kau Apa Adanya punya Once, tadinya mau gue nyanyiin Nina Bobo tapi takut dia makin protes. Dan sekarang gue sibuk memandang wajah tenang Danesa, mulutnya sedikit terbuka dan membuat dengkuran pelan keluar dari sana.
Pipi bulatnya kini menghilang, digantikan oleh pipi tirus yang jarang merona, sisa air mata masih terlihat jelas di sana, entah udah berapa ratus tangisan yang dia keluarkan akhir-akhir ini. Sekarang tulang rahang Danesa juga terlihat menonjol, bibirnya pun makin pucat dan mengering.
Gue mencium hidung pacar gue singkat sebelum akhirnya ikut tidur, masih di sebelahnya.
...
2 chapter lagi selesai :(
KAMU SEDANG MEMBACA
Sorrow [Damdo]✔
FanficSay before it's late, Love before it's gone. at least they had a chance to do whatever they want until the right time to say goodbye. ⚠️ major character death ⚠️