03

31 7 0
                                    

Han tahu-tahu menawarkan sebelah tangan untuk digandeng, gagah tetapi rileks.

Yang, buru-buru Berta sambut bagaikan refleks.

Setelah membayar dua gelas sarsaparilla yang telanjur dingin sebelum sempat ditandaskan, Han langsung membawa Berta keluar dari kafe yang masih sibuk oleh muda-mudi yang kikuk berembuk, bersirajuk, dan bersipeluk itu. Kombinasi antara semburat jingga di langit, suasana sudut kota jelang malam di akhir pekan, dan interior kafe yang berkonsep industrial, seakan bersorak memvalidasi atmosfer keintiman di sana-sini.

Saking berhasilnya kafe membuat setiap pasangan terlena dalam dunianya masing-masing, tak seorang pun sadar bahwa Berta berjingkrak ria penuh histeria, dalam upaya membelah kerapatan meja dan kursi, berlari kecil menembus kerumunan, menuju pelataran kafe yang becek oleh genangan—residu hujan tadi siang.

“Nah, sekarang,” mulai Han begitu keduanya sudah tegak bersemuka di luar.

Berpemisah sehampar genangan air yang mengapungkan siluet matahari terbenam, dengan lembut Han pun berbisik, “Menunduklah, Sayang.” 

Dasar NyamukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang