06

17 6 0
                                    

Bahkan ketika malam kian larut tanpa disadarinya, Berta masih saja menggeliat tak tenang.

Dasar janji, pikirnya, sekalinya tercetus pasti menagih terus.

Dasar Han, pikirnya lagi, sekalinya menawan hati pasti kenangannya tak mati-mati.

Ah, dasar nyamuk, pikirnya sekali lagi, sekalinya datang pasti bentolnya membayang-bayang.

Pada saat menggerutu begitu, memang, seekor nyamuk tampak sedang melakukan pemboran intensif di punggung tangan kanannya. Namun, pasca dicampakkan Han sore tadi, Berta jadi tak bertenaga bahkan untuk sekadar naik darah. Biarlah nyamuk ini kenyang, pikirnya. “Mustahil darahku habis hanya karena seekor nyamuk!” pikirnya, yang kali ini telah dialihsuarakan. Kendati, lantaran emosi yang belum kering benar, teriakannya lebih terdengar seperti percobaan falseto di malam yang telah lindap oleh sembap air matanya ini.

Entah mungkin terbangunkan oleh percobaan falseto barusan, atau sebab lain, seseorang datang mengetuk pintu kamar indekos Berta.

“Loh, Berta, kok belum tidur?” sapa seorang gadis berkulit mulus, dengan nada kelewat halus.

Dasar NyamukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang