11

9 6 0
                                    

Waktu itu, Berta dan Han berada di jurusan yang sama, kelompok orientasi yang sama, tetapi sama-sama berbeda dalam hal keseragaman atribut dengan mahasiswa-mahasiswi baru lainnya. Keduanya terpilih untuk maju ke depan, persisnya ke tengah lapangan upacara seluas dua kali lapangan sepak bola, dengan tujuh ribuan orang duduk dalam formasi donat mengelilingi panggung di sentral. Alih-alih memakai kaus kaki kiri bergambar sepeda dan kaus kaki kanan bergambar motor, keduanya justru memakai kaus kaki bergambar sepeda motor di kiri dan kanan. Berta dan Han salah menangkap instruksi, atau lebih tepatnya luput mendengar kata “dan”. Dan, jadilah mereka bulan-bulanan senior panitia orientasi.  

“Karena nama kamu Berta dan nama kamu Han,” goda seorang senior dibantu sebuah megafon, “biar serasi menjadi 'BertaHan', bagaimana kalau kita jodohkan saja mereka, setuju?”

Khalayak pun bersorak, entah karena benar setuju, atau memang terpaksa begitu, sebab sudah tak punya hiburan lagi setelah hampir seharian itu lelah dijemur terik. 

Megafon lalu dioper ke senior lain, yang kemudian mencetuskan, “Oh, coba deh kalian berdua, 'BertaHan'—EEAA-EEAA!—saling mengucap janji satu sama lain. Oh, harus jujur pokoknya. Nah, biar jatuhnya enggak klise—EEAA-EEAA!—sekaligus biar kalian ingat terus sama kesalahan kalian, janjinya bukan soal cinta—EEAA-EEAA!—tapi," senior itu mengedarkan pandang ke sekeliling, "janji dengan kata sepeda DAN motor!”

Kerumunan itu semakin riuh (EEAA-EEAA!). Jika tadi suitan menggoda, sekarang gemuruh tawa (HUAHA-HAHA!).  

Mempertahankan harga diri selaku laki-laki, majulah Han lebih dulu. Di hadapan Berta, juga ribuan massa, melalui megafon Han lantas melantangkan, “Karena trauma di masa kecil, jujur, sampai saat ini saya belum pernah mengendarai sepeda—HUAHA-HAHA!—tapi, saya berjanji, untuk selalu mengantar-jemputmu dengan motor—HUAHA-HAHA!—setiap hari bertanggal genap!” 

Tibalah giliran Berta. Hanya saja, entah karena arsip kosakata di kepalanya tiba-tiba lumer terpanggang matahari, atau memang hampir selalu blunder jika diharuskan bicara dengan sepilihan diksi, Berta akhirnya sebatas mengopi ucapan Han tanpa kreativitas berarti, yakni, “Karena trauma di masa kecil, jujur, sampai saat ini saya belum pernah mengendarai motor—HUAHA-HAHA!—tapi, saya berjanji, untuk selalu mengantar-jemputmu dengan sepeda—HUAHA-HAHA!—setiap hari bertanggal ganjil!” 

Malang tak dapat ditolak, acara berbalas janji itu bukanlah akhir dari penderitaan keduanya. Mujur tak dapat pula diraih, sebab situasi berikutnya bahkan lebih buruk lagi. 

Dasar NyamukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang