07

14 7 0
                                    

Gadis yang Berta bukakan pintu itu tak lain tetangga sebelah kamar indekos; entri terbaru di daftar traumanya; sekaligus tempat andalan, cuma-cuma, dan cuma satu-satunya terkait kebutuhan fundamentalnya memakai Wi-Fi.

“Biasalah, nyamuk,” sahut Berta santai, mencoba tersenyum. Rambut dan piamanya yang kusut sudah dirapikan. Tangis pun sudah dihapusnya dengan punggung tangan kanan. 

“Loh, Berta, kok pipimu berdarah?” Salsafarida terbeliak dari sebalik kacamata minus berbingkai tipis.

“Oh, tadi ada nyamuk, mati kutepuk, eh terusap deh ke muka,” ungkap Berta jujur.

“Jadi, kamu belum tidur karena banyak nyamuk, ya?” 

“Begitulah.” Berta berbohong. 

“Kalau begitu, kamu bisa loh tidur di kamarku,” Salsafarida menawarkan. “Tadi siang kebetulan aku dibelikan satu pot besar lavender. Lumayan sih, ampuh membasmi nyamuk.” 

Selama percakapan berlangsung, Berta tanpa sadar telah mendonorkan darahnya pada nyamuk-nyamuk itu. Belasan bentol merah jadilah membukit di lengannya. Walhasil, sebelum sensasi gatal itu berkembang liar, pun demi terhindar dari cobaan menjadi partisipan yang harus rela kulit bekas gigitan nyamuknya diobservasi di Kelas Parasitologi besok, dengan terpaksa ia terima saja ajakan perempuan yang, menurutnya, tega menjelma spasi pemutus "BertaHan" yang dulu pernah indah tergagas.

Dasar NyamukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang