Matahari terbenam menandakan malam akan tiba di atap sekolah aku masih merokok dengan santai. Tidak peduli darah menetes dari hidungku tanpa henti entahlah, aku pikir lebih baik segera pergi dari tubuh Aditya.
"Kukira kehidupan di sekolah lu bahagia Dit. Nyatanya sama aja kayak di rumah," ucapku.
Puas merokok aku meloncat dari atap sekolah setelah itu menggelap darah di hidungku dengan kasar. Sekolah sudah sepi jam pulang sekolah sudah satu jam yang lalu, namun aku memilih merokok di atap.
Di pos satpam hanya ada seorang satpam berkumis tebal menonton tv sambil ngopi santai, aku pergi dari sekolah langkah kakiku malas menuju ke rumah, dan memilih memutar arah agar lebih lama tiba di rumah.
Kedua kakiku membawaku ke sebuah taman kota hanya ada beberapa orang disana wajar sih sebentar lagi malam. Aku tersenyum tipis melihat pemandangan dimana keluarga harmonis tidak jauh dari penglihatanku.
"Jadi inget pas piknik keluarga," ucapku.
Keluargaku memang sering piknik sederhana entah dimana atau mengunjungi suatu tempat saat liburan sekolah. Hal yang sangat menyenangkan tapi tidak semua anak bisa merasakan itu semua. Salah satunya Aditya sejak kecil harus merasakan caci maki dari kedua orangtuanya.
"Gua beruntung terlahir dari keluarga yang baik walaupun tingkah ayah kadang absurd sih," ucapku.
Ayahku memang absrud maksudnya sering melakukan hal aneh saat di rumah, dan yang menjadi korban itu semua pasti kedua anaknya. Namun sekarang aku merindukan itu semua padahal baru sehari aku menempati tubuh Aditya.
"Rindu ayah," lirihku.
Duduk di rerumputan aku menghirup udara sore sangat rakus sambil memejamkan mata aku menikmati semilir angin sore. Aku merebahkan diriku diatas rerumputan merasakan bagian kepalaku ditusuk ribuan jarum.
"Penyakit ini menyusahkan sekali," ucapku.
Aku memejamkan mataku seiring rasa sakit menghujani belakang kepalaku tidak mengingat apapun lagi saat kegelapan mulai mendominasi penglihatanku. Aku terbangun, dan merasa asing melihat suasana kamar berwarna merah polos hal pertama yang kulihat.
Aku memegang belakang kepalaku merasakan rasa sakit kembali menguasaiku. Menutup kembali mataku untuk meredakan rasa sakit akibat penyakit menyebalkan ini.
"Adek!"
Aku sayup-sayup mendengar nada khawatir dari seseorang tapi saat aku ingin melihat orang tersebut mataku malah menutup.
Matahari menyinari bumi membuat aku terusik dari tidur nyenyak, tapi aku langsung terbangun mengingat sesuatu yang terlupakan dariku.
"Ck aku lemah!" kesalku.
"Dek, udah baikan?" tanya Rizky.
Aku bisa merasakan Rizky sangat mengkhawatirkan keadaanku ditambah kepalaku semakin pusing memikirkan nasib orang-orang yang kusayangi. Aku tersenyum tipis kearah Rizky helaan nafas kudengar dari Rizky sepertinya dia lega aku keadaanku yang membaik.
"Kemoterapi ya?" tanya Rizky.
"Kak kebahagiaanku bukan disini," ucapku.
"Maksudmu kau akan menyerah dengan penyakit yang kau derita begitu mudahnya!" kaget Rizky.
"Terkadang kupikir bertahan selama ini hanya demi kakak saja. Kedua orangtuaku tidak pernah melirikku sama sekali, biarkan aku egois untuk saat ini," ucapku.
"Dokter bukan tuhan dek. Dia tidak bisa menentukan umur seseorang begitu saja!" protes Rizky.
"Aku tahu, kak. Aku lelah cuma ingin istirahat dengan damai saja," ucapku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Transmigrasi Ello (END)
General FictionNot BL/Only Brothership. Ini hanya kisah tentang keluarga saja tidak lebih. Othello Pranaja Zayan pemuda berwajah tegas, bersifat dingin, datar, minim ekspresi, benci pengkhianatan, baik sama orang yang disayang, dan tidak memandang bulu saat marah...