4 (keluarga seperti ini)

28.3K 1.8K 17
                                        

Matahari terbenam, memberi tanda bahwa malam sudah dekat. Di atap sekolah, aku masih duduk santai merokok, tidak peduli dengan darah yang terus mengalir dari hidungku. Rasanya, lebih baik segera pergi dari tubuh Aditya, membiarkan tubuh ini kembali ke jalan yang seharusnya.

"Kukira kehidupan di sekolah lu bahagia, Dit. Nyatanya sama aja kayak di rumah," ucapku, lebih kepada diriku sendiri.

Setelah puas merokok, aku meloncat turun dari atap sekolah, menggelap darah yang terus menetes dengan kasar. Jam sudah menunjukkan lewat dari waktu pulang sekolah, namun aku memilih untuk tetap di sini, jauh dari keramaian.

Di pos satpam, hanya ada seorang satpam berkumis tebal yang sedang menonton TV dan ngopi santai. Aku melangkah keluar, malas menuju rumah. Malah, aku memutuskan untuk memutar arah, memperlama langkahku agar tidak cepat sampai.

Kakiku akhirnya membawaku ke taman kota yang mulai sepi, hanya ada beberapa orang yang menikmati sore. Aku tersenyum tipis melihat pemandangan keluarga yang harmonis, tidak jauh dariku.

"Jadi inget pas piknik keluarga," ucapku dengan senyum kecil.

Keluargaku memang sering piknik sederhana, pergi ke tempat-tempat baru saat liburan sekolah. Hal-hal sederhana yang sangat menyenangkan, tapi aku sadar, tidak semua anak bisa merasakannya. Aditya, contohnya, yang dari kecil selalu menerima caci maki dari orang tuanya.

"Gua beruntung terlahir dari keluarga yang baik, walaupun tingkah ayah kadang absurd sih," ucapku, mengenang masa lalu.

Ayahku memang selalu melakukan hal-hal aneh di rumah, dan yang menjadi korban seringkali adalah kami, anak-anaknya. Tapi, meski itu absurd, aku merindukannya, meskipun baru sehari aku menempati tubuh Aditya.

"Rindu ayah," lirihku, seakan berbicara pada diriku sendiri.

Aku duduk di rerumputan, menghirup udara sore dengan rakus, memejamkan mata, dan menikmati semilir angin. Saat itulah rasa sakit di kepalaku datang, seakan ribuan jarum menusuk di belakang kepala.

"Penyakit ini menyusahkan sekali," aku bergumam.

Aku terkulai lemas di rerumputan, merasakan gelap yang mulai menguasai penglihatanku. Tidak lama, aku merasa diriku terbangun di tempat yang asing. Suasana kamar berwarna merah polos. Begitu aku memegang belakang kepala, rasa sakit kembali menguasai diriku. Aku menutup mata lagi, berusaha meredakan rasa sakit itu.

"Adek!"

Suara yang kudengar sayup-sayup, penuh kekhawatiran, seolah memanggilku. Aku ingin membuka mata, tapi tak mampu, dan akhirnya terlelap lagi.

Matahari mulai menyinari bumi, dan aku terbangun dari tidur yang terputus. Begitu teringat akan sesuatu yang terlupakan, aku langsung merasa kesal.

"Ck, aku lemah!" ucapku, kesal dengan diriku sendiri.

"Dek, udah baikan?" tanya Rizky, suaranya terdengar cemas.

Aku bisa merasakan betapa khawatirnya Rizky dengan kondisiku. Kepalaku terasa semakin pusing, memikirkan orang-orang yang kusayangi. Aku tersenyum tipis ke arahnya, dan aku mendengar hembusan nafas lega dari Rizky.

"Kemoterapi ya?" tanya Rizky, menyarankan dengan lembut.

"Kak, kebahagiaanku bukan disini," jawabku datar.

"Maksudmu, kau akan menyerah dengan penyakit yang kau derita begitu mudahnya!" Rizky terdengar kaget.

"Terkadang, kupikir bertahan selama ini hanya demi kakak saja. Kedua orangtuaku tidak pernah melirikku. Biarkan aku egois untuk saat ini," aku mengungkapkan perasaanku.

"Dokter bukan Tuhan, dek. Mereka tidak bisa menentukan umur seseorang begitu saja!" Rizky protes, masih tidak terima.

"Aku tahu, kak. Aku lelah, cuma ingin istirahat dengan damai saja," jawabku dengan suara pelan.

Transmigrasi Ello (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang