6 - Mantan?

125 19 5
                                    


Divya menikmati hari-harinya setelah menjadi seorang istri. Dalam pernikahannya, ia menemukan kedamaian serta kebahagiaan yang belum pernah ia rasa sebelumnya. Ia berharap dan berdoa, kebahagiaan yang dititipkan-Nya itu bisa bertahan lama.

Sejauh ini tidak ada kendala yang berarti baginya. Kecuali kerikil-kerikil yang masih bisa teratasi dengan baik. Divya menyadari bahwa tidak ada hubungan yang sempurna, yang ada hanyalah orang yang senantiasa berusaha.

Berusaha lebih baik tentunya.

Hubungan pernikahan yang dijalani Rafka dan Divya baru saja melewati bulan pertama. Masa penyesuaian, pengenalan, dan pemahaman masih tetap berlangsung bagi keduanya. Karena pada hakikatnya, pernikahan itu menyatukan dua manusia dalam satu ikatan.

Pernikahan adalah perjanjian antara dua manusia dengan Tuhan. Bukan lagi tentang diri sendiri tetapi tentang pasangan yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya.

“Kaulah seluruh cinta bagiku, yang selalu menentramkan perasaanku, dirimu kan slalu ada di sisiku selamanya, kau bagaikan napas di tubuhku, yang sanggup menghidupkan segala gerakku,  ku 'kan slalu memujamu hingga nanti kita 'kan bersama ... oooohh.” perempuan berkaus maroon itu bersenandung kecil sembari memotong beberapa daun tanaman dalam pot.

“Silent is better kayaknya, Sayang,” celetuk seseorang dari dalam rumah. Ia menenteng ember hitam dan melewati perempuan itu begitu saja.

Mendengar respons seperti itu, kontan saja bibir perempuan itu mengerucut dan matanya mendelik tidak suka. Sedangkan tangannya masih cekatan menggunting daun-daun kering di pot tanaman sambil menggerutu tak jelas. “Iya … da aku mah apa atuh, dibanding si mantan penyiar mah.”

Rafka tertawa sembari membasahi motor di teras.

“Mulai … nanti kesel sendiri pasti kalau udah nyinggung masalah itu,” gumamnya.
Meski sudah dijelaskan berkali-kali, bahwa tidak ada hubungan apa-apa antara dirinya dan perempuan bernama Arti, tetapi Divya tetap merasa sangsi. Ingatannya akan hal itu cukup kuat. Terkadang Rafka merasa kesal, tetapi jika ia menjawab semuanya akan berkepanjangan. Sepertinya itulah sifat perempuan.

“Aku udahan, ah.”

Divya beranjak dari tempatnya, lalu melenggang pergi ke dalam rumah. Setelah urusannya dengan tanaman-tanaman selesai.

“Tolong sekalian ambil lap, ya,” titah Rafka, setengah berteriak. 

Akhir pekan adalah waktu yang mereka miliki untuk quality time, karena enam hari dalam sepekan, mereka hanya bertemu sore sampai malam. Karena Rafka bekerja di sekolah yang menerapkan sistem pendidikan full day school.

“Ini lapnya.”

“Pagi-pagi udah manyun aja,” tegurnya, sembari mengambil lap dari tangan perempuan berjilbab hitam itu.

Alih-alih menjawab, ia justru mengambil selang air dan mulai menyiram beberapa pot tanaman.

Melihat hal itu, Rafka hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Ia tak habis pikir dengan tingkah laku sang istri yang menggemaskan tapi terkadang mengesalkan.

Namun, setali tiga uang dengan perempuan yang masih asyik dengan tanamannya, Rafka pun merasa hidupnya lebih bermakna setelah memiliki istri. Hadirnya memberi kesan tersendiri bagi Rafka Rizaldi.

“Assalamu’alaikum,” sapa seseorang di balik pagar rumah.

Perhatian Rafka dan Divya pun langsung teralihkan, keduanya kompak menjawab salam tersebut. Rasa heran tiba-tiba menghampiri mereka karena kedatangan tamu tak diundang yang mengenakan jaket kulit serta sebuah kardus di atas motornya.

My Dearest PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang