Restu

89 14 4
                                    

🌟🌟🌟

Haaaiii ... 👋🏻

#Part_16_MDP

Ridho Allah untuk manusia dititipkan pada tiga orang. Ridho seorang anak ada pada orang tuanya, ridho seorang murid ada pada gurunya, dan ridho seorang istri ada pada suaminya.

Allah tidak akan memberi pengampunan pada seorang istri, jika suaminya tidak ridho. Sepenting itulah ridho dalam ajaran agama yang Rafka anut. Tetapi, kini ia sadar, bahwa ridho atau keikhlasan seorang istri pun tak kalah penting bagi seorang suami. Itulah mengapa, Rafka benar-benar menanyakan keikhlasan Divya sebelum ia memutuskan untuk berangkat.

Rafka tidak mau mengulangi kesalahannya seperti beberapa waktu lalu, ketika mendaftarkan diri untuk beasiswa yang ia harapkan, dan akhirnya berujung pertengkaran. Rafka berjanji pada dirinya sendiri, akan melibatkan istrinya dalam segala hal, jika memang itu yang terbaik.

Sampai akhirnya, Rafka merasa selama perjalanan hingga tiba di lokasi interview, langkahnya terasa ringan, mungkin karena restu orang tua dan istri sudah dikantongi. Pikirannya pun bisa lebih tenang dan ia berusaha fokus untuk menghadapi proses di depan mata.

Di antara beberapa calon awardee, Rafka terbilang cukup muda, usianya baru akan menginjak angka tiga puluh, dua tahun lagi. Karena beberapa calon awardee lainnya terlihat sudah berusia matang, meskipun ada juga yang terlihat lebih muda dari Rafka.

Setelah segala ikhtiar dan persiapan ia lakukan sebelumnya, kini ia akan kembali bertarung di hadapan para interviewer. Sekarang ia hanya bisa mengandalkan keberuntungan dan doa yang tak putus ia panjatkan di sepanjang waktu yang dimiliki.

"Hai," sapanya ramah, perempuan berkulit putih itu duduk tak jauh dari tempat Rafka. "I'm Nathania Adelia, biasa dipanggil Adel. Hmm ... if you don't mind, can I know your name?" sambungnya ramah sambil mengulurkan tangan.

"Oh sure, Adel ... saya Rafka," balasnya sambil menelungkupkan tangan di dada.

Rafka sempat ragu, ketika perempuan itu mengulurkan tangan, tetapi akhirnya ia memilih merespons dengan senyum sopan yang ia harap tidak menyinggung perasaannya.

"Sorry. Kamu muslim, ya?"

Rafka menganggukkan kepala sambil tersenyum sopan, ia merasa tidak enak ketika perempuan itu meminta maaf. "I should apologise, kalau justru kamu tersinggung dengan sikap saya, Adel."

"No. Saya sangat menghargai sikap kamu, apalagi kamu sudah menikah, kan?"
Rafka mengernyitkan kening ketika ia menebak dengan tepat bahwa dirinya adalah pria yang sudah menikah.

"Cincin kamu," lanjut Adel sambil terkekeh geli, karena melihat wajah Rafka yang masih terlihat heran.

"Hmmm..." Rafka pun mengangguk paham, lalu meraba cincin berbahan palladium di jari manisnya.

"Saya gugup banget, makanya saya coba buat bicara sama kamu, karena kamu yang duduknya paling deket dari saya. Gak apa-apa kan? Atau kamu lagi mau konsentrasi dan gak mau diganggu, ya?"

"Enggak. Silakan kalau kamu mau bicara."

Detik demi detik berlalu, perbincangan hangat antara Rafka dan perempuan bernama Nathania pun berlangsung cukup lama, hingga beberapa calon awardee lain ikut bergabung dalam perbincangan mereka. Harus Rafka akui, kalau dengan bertukar pikiran dan informasi dengan para calon awardee lain membuat rasa gugupnya sedikit berkurang. Ia pun mendapat beberapa insight baru yang sebelumnya tidak ia ketahui.

Dari ribuan pelamar di awal, lalu ke tahap seleksi berkas, dan sampai ke tahap interview, yang lolosnya tidak lebih dari tiga puluh orang. Rafka bersyukur bisa menjadi salah satunya. Karena Rafka cukup kesulitan dalam persiapannya, terutama dalam hal yang penguasaan bahasa, ia harus ekstra mempelajari materi-materi IELTS yang cukup membuat kepalanya hampir pecah. Tetapi ia tidak mau menyerah, ia yakin bisa melewati semuanya jika benar-benar berusaha.

My Dearest PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang