Separuh Jiwa yang Pergi

34 7 0
                                    

Bagian 26 - MDP

Selamat membaca teman-teman, semoga bermanfaat dan terhibur ✨🌻

***

Langit sore itu berwarna kelabu, padahal sebelumnya matahari bersinar begitu terik dan langit begitu cerah dengan warna birunya. Laki-laki itu mengenakan koko putih dan sarung hitam, ia berdiri tegak di depan teras masjid, tatapannya lurus memandang kosong beberapa orang di hadapannya, sedangkan kedua tangannya bergetar hebat, bagaimana tidak? kini ia harus menggendong darah dagingnya yang terbalut kain kafan putih bersih.

Segala prosesi pengurusan jenazah pun telah selesai dilaksanakan, ketika Rafka tiba. Ia tidak sempat berpamitan di detik-detik terakhir sang anak mengembuskan napas terakhir, karena ia masih berada di luar kota. Ia hanya sempat menshalatkannya, dan ini momen terakhir yaitu mengantarkan sosok mungil itu untuk beristirahat selama-lamanya di tempat terbaik.

Rafka berjalan di barisan paling depan bersama Adam, dan seorang ustadz yang biasa memimpin prosesi pemakaman. Sedangkan Divya berjalan gontai di barisan paling belakang, bersama dengan Sayyidah dan beberapa kerabat.

Divya tidak menangis, ia sudah berjanji tidak akan menangis ketika bersikeras ikut mengantar. Perempuan berkerudung hitam itu memaksa kedua kakinya untuk terus melangkah, padahal kondisi tubuhnya benar-benar lemah, seolah seluruh tulang yang menopang tubuhnya hilang berserakan. Dan hatinya tentu saja hancur berkeping-keping.

Dua belas hari sudah. Tidak bisa lagi Divya menawar atau meminta perpanjangan waktu untuk bisa melihatnya tumbuh menjadi anak yang ia idamkan.

Dua belas hari Divya merasa bahagia karena resmi bergelar sebagai ibu. Dua belas hari diselimuti kecemasan, dua belas hari air mata bercucuran, dua belas hari doa untuk keselamatan ia panjatkan, tetapi Allah sang Pemilik kehidupan berkata lain, kini Divya harus berdamai dengan takdir yang telah ditetapkan dan dengan malaikat kematian karena telah mengambil sang anak yang amat ia rindukan.

Sebab, setelah malaikat kecilnya dimasukkan ke lubang dan ditutupi tanah merah itu, Divya tidak akan bisa lagi melihat atau memeluk raganya.

"Aamiin ...." suara itu serentak terdengar ketika ustadz selesai membacakan doa.
Divya langsung mengusap air yang mengalir di pipi, setelah doa selesai. Ia tahu telah mengingakari janji, tetapi ia pun sudah sekuat tenaga untuk menahan pertahanannya agar tidak roboh.

Satu persatu orang yang ikut kembali pulang, mereka menghampiri Divya dan Rafka, memberi doa dan kalimat penguat, yang hanya mampu Divya jawab dengan senyuman dan ucapan terima kasih.

Setiap hari, setiap embusan napas, setiap matanya hendak memejam, wajah mungil dan polos selalu terbayang di pelupuk mata Divya. Gerakannya, kedipan matanya, tangis pilunya pertanda merespons kehadiran sang ibu selalu ia rindukan, meskipun kini terasa sangat menyakitkan.

Berkali-kali perasaan bersalah itu selalu membayangi setiap langkah Divya. Tetapi Divya beruntung karena memiliki ibu dan suami yang terus mengingatkan, bahwa itu bukan kesalahan siapapun.

Muhammad Rafif Khalil Rizaldi. Nama itu yang pada akhirnya disepakati untuk malaikat kecilnya, dan untuk pertama kali, nama itu tertulis di sana, di atas papan nisan. Anak sholih yang menjadi teman kesayangan. Makna yang terkandung di dalamnya.

Divya berharap nama itu bisa menjadi doa. Meski kini tidak bisa menjadi teman di dunia, semoga kelak bisa menjadi teman dan anak sholih kesayangan di surga. Semoga kelak, malaikat kecil itu mau dan pantas menjemput orang tuanya untuk kembali bersama dalam keabadian.

"Sayang, Kita pulang yuk," ajak Rafka dengan suara pelan, ia berjongkok untuk mencoba membujuk Divya yang masih betah duduk di sebelah pusara, setelah menaburkan bunga sambil melafalkan doa.

My Dearest PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang