Luka Lama

120 19 7
                                    

⭐⭐⭐

Part 9

“Vy ...,” tegur ibunya. Sorot mata perempuan berusia lima puluh tahun itu tajam menghunus hingga ke hati sang anak. 

Divya memang anaknya, tetapi ia tidak sampai hati ketika melihat secara langsung sikap yang ditunjukkannya terhadap Rafka, yang sudah ia anggap sebagai anaknya sendiri. Sebagai seorang ibu, ia merasa tidak enak akan hal tersebut. 

Teguran Saidah rupanya tidak diacuhkannya. Kekesalan di dalam dirinya lebih mendominasi. “Aku cuman tanya, Bu. Toh, pertanyaanku nggak sulit ‘kan, Kang?” Matanya menyipit ketika ia menoleh ke arah samping sembari tersenyum kaku. 

Bibir tipis Rafka mengulas senyum canggung. Jawaban yang hampir keluar dari lisannya mendadak tertelan kembali. Suasana di ruang makan itu terasa asing bahkan cenderung dingin, tidak seperti biasanya. 

Sepanjang enam bulan pernikahan, Divya dan Rafka nyaris tidak pernah terang-terangan menunjukkan perselisihan yang tengah terjadi. Meskipun begitu, Saidah selalu menyadari setiap detail perubahan yang terjadi, apalagi perubahan pada diri Divya Safitri—anak pertama yang mengajarkannya banyak hal. 

Setelah adonan kue berhasil dimasukkan ke dalam loyang, Divya pun beranjak dari tempatnya, ia bergerak cepat lalu masuk ke kamar. Suara daun pintu ditutup dengan gerakan yang cukup keras itu membuat Rafka dan perempuan paruh baya itu hanya beradu pandang beberapa saat, sebelum akhirnya perempuan itu mengangguk dan Rafka pun paham dengan maksud tersebut. 

Sebelum masuk ke kamar, tubuh tegapnya membeku sejenak di depan pintu. Tangannya pun berkali-kali ia urungkan untuk memutar handle pintu. 

Namun, sebelum semuanya berlarut-larut, ia pun akhirnya memutuskan untuk masuk dan mengesampingkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi setelahnya. 

Berbeda dengan caranya tadi, Rafka menutup daun pintu berwarna putih itu dengan hati-hati, hingga nyaris tidak menimbulkan suara sedikit pun. Hal yang ia lakukan setelah itu adalah menyimpan tas ransel di dekat lemari, lalu menggantung jaket di kapstok belakang pintu.

Dilihatnya punggung perempuan mungil itu dari belakang. Ia tengah berdiri menghadap jendela kamar. Perlahan, Rafka mendekat. Tangannya terulur pada pundak yang terhalangi baju berwarna merah muda bercorak Hello Kitty. 

Alih-alih menoleh, perempuan itu tetap diam terpaku dengan perasaannya sendiri dan pikirannya yang bercampur aduk. 

“Maaf kalo kamu marah gara-gara chat yang nggak saya balas, Vy,” ucapnya pelan. Tangan lentik itu masih diletakkan di pundaknya. Rafka menunggu respons, tetapi sia-sia karena Divya tetap bergeming. “Saya nggak akan bikin alasan macam-macam, karena memang bukan hanya chat kamu yang gak saya balas,” sambungnya, lalu menurunkan tangan dan kini menyilangkannya di dada. 

Tiba-tiba perempuan itu menoleh, ekspresinya tidak mudah dibaca. Tatapannya kosong dan datar. “Kamu berubah, Kang,” cetusnya dingin. 

Mendengar jawabannya, refleks laki-laki berwajah teduh itu menoleh. Sebelum menimpali, sepasang mata besarnya menatap mata sipit sang istri dengan tanda tanya besar di benaknya. Ia benar-benar tidak mengerti maksud dari asumsinya tersebut. 

Jika memang dirinya berubah, maka wajar. Karena tidak ada manusia yang sama, tidak ada manusia yang tidak berubah. Perubahan sekecil apa pun tentunya akan terjadi dalam diri siapa pun. Bahkan bagi Rafka, perempuan yang ia kenal dulu, dan kini menjadi istrinya, telah berubah. 

“Semua orang berubah, Vy. Dan berubah yang kamu maksud di sini itu seperti apa?”

Divya memalingkan wajah ke lain arah, ia menelan ludah karena kehilangan kata untuk menimpali pertanyaan yang Rafka berikan. Karena ia sendiri pun tidak tahu pasti ke mana arah pembicaraan ini. Ia tidak tahu hal apa yang sebenarnya ia persoalkan di sini. 

My Dearest PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang