Bukan Pilihan Terbaik

93 16 0
                                    


Bagian 11 

Motor hitam itu melaju di jalan anyar yang cukup lengang, sisi kanan kiri jalan dipenuhi pepohonan yang daunnya berjatuhan berserakan tertiup angin.

Kaku. Dingin. Itulah hal dirasakan Rafka Rizaldi, suasana yang semula hangat tiba-tiba saja berubah. Laki-laki berbatik cokelat itu tidak banyak mengeluarkan suara sepanjang perjalanan pulang dari gedung resepsi. Begitu pun dengan perempuan yang duduk di belakangnya.

Perempuan berjilbab hitam itu sibuk dengan pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi isi kepalanya. Saking sibuknya, ia tidak menyadari bahwa motor yang dikemudikan Rafka sudah berhenti sejak satu menit lalu di teras rumah.

"Gak turun?" Rafka menoleh ke belakang sekilas, tangannya masih memegang stang, sedangkan kakinya masih menahan body motor dengan seimbang.

"Ooohh," sahutnya terkesiap, Divya pun segera turun dari atas motor, langkahnya agak limbung, lalu ia melangkah gontai melewati pot-pot tanaman di teras, ia melenggang masuk ke rumah tanpa menghiraukan tatapan Rafka.

Sejak topik bahasan menyinggung soal rencana studinya di meja resepsi tadi, Rafka sudah menduga bahwa suasana tidak akan berjalan seperti sebelumnya. Perubahan ekspresi wajah Divya sudah menjelaskan semuanya, meski ketika berbicara dengan rekan-rekannya, ia masih bisa tertawa dan tersenyum. Dan mungkin mereka tidak sadar dengan perubahan yang terjadi.

Jika sudah seperti ini, ia tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali menjelaskan semuanya.

Rafka turun dari atas motor, lalu menyusul masuk ke rumah.

Sesampainya di kamar, perempuan itu duduk di depan cermin, tatapannya kosong menatap deretan kosmetik di meja, di detik selanjutnya ia mengambil kapas dan membasahinya dengan cairan pembersih wajah. Perlahan kapas basah itu ia sapukan di wajah. Gerakan berulang ia lakukan, sampai wajahnya kembali bersih dari polesan make up tipis yang tadi dipakainya.

***

"Vy ... saya mau bicara," ucap Rafka yang baru saja masuk ke dalam kamar.

Setelah keduanya salat dan berganti pakaian, mereka kembali disergap kebekuan. Kamar berukuran sedang itu mendadak dingin, padahal suasana di luar jelas-jelas terik.

Divya melipat sajadah dan meletakkannya di gantungan beserta mukena merah muda bercorak bunga mawar.

Ia mendengar suara Rafka dengan jelas, tetapi mulutnya enggan mengeluarkan jawaban. Maka ia pun hanya menuruti permintaan Rafka, dengan memilih duduk di tepi tempat tidur, menghadap sang suami yang duduk di depan cermin meja rias.

Rafka menghela napas panjang, sejak tadi ia sibuk menyusun kalimat yang akan disampaikannya. Ia bingung harus memulainya dari mana, karena ia tidak tahu hal apa saja yang harus ia utarakan.

"Saya minta maaf soal kejadian tadi."

"Maaf untuk apa?" Divya menjawab dengan senyuman yang ia paksakan. "Untuk kebohongan Kakang?" Hatinya tiba-tiba berdenyut nyeri, membayangkan seberapa banyak hal yang tidak diketahuinya itu.

Rafka mengusap wajah dengan kedua telapak tangan setelah mendengar respons istrinya itu. Ia tertampar, hingga sepenuhnya sadar bahwa kebohongan tetaplah kebohongan, meski tak sedikit pun ia berniat untuk melakukannya.

"Gak ada kebohongan, Vy. Saya cuman belum ketemu timing yang pas buat bicarakan semuanya sama kamu."

"Terserah apa namanya, tapi Kakang kelewatan, tau gak?"

Rafka mengangguk mengakui, "Saya tahu."

Emosi perempuan itu kini perlahan naik, matanya mulai terasa perih, terlebih ketika melihat Rafka begitu tenang. Seolah-olah hal yang tengah terjadi itu bukan sesuatu yang penting.

My Dearest PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang