Sebuah Nasihat

41 6 0
                                    

Hai, teman-teman, sudah bertemu Senin lagi ya, alhamdulillah. Selamat membaca, semoga bermanfaat dan terhibur ✨🌻

***

MDP Bagian 32

Malam menyelimuti kota Tasikmalaya, angin sepoy-sepoy bertiup mengguncang pepohonan dan tanaman di teras rumah bercat putih itu. Di bawah cahaya lampu temaram, seorang laki-laki berkulit sawo matang duduk mengamati jalan di balik pagar. Tangannya memegangi satu buah cup kopi hangat, sesekali ia meminumnya perlahan, menikmati rasa pahitnya yang khas.

Sudah berhari-hari laki-laki itu menimbang keputusan, antara tetap diam atau berbicara mengungkapkan keresahan. Dicky Ilhami bingung dengan kondisi yang tengah terjadi di rumah itu. Di satu sisi, Dicky mengerti bahwa sepupunya tengah berduka, tetapi di sisi lain ia tidak tahan dengan sikapnya yang gegabah dalam mengambil keputusan.

"Vy!" Dicky mengetuk pintu kamar sepupunya, setelah memantapkan diri untuk berbicara serius. "Ngobrol, yuk, di teras." Ia pun kembali beranjak, berharap Divya mau untuk diajak bicara.

Dicky duduk di kursi sambil mengoperasikan ponsel di tangan, ia terdiam bahkan belum membuka suara saat Divya telah duduk di kursi sebelahnya.

"Mau ngobrolin apa?" tanya Divya, tetapi Dicky tak menjawab, ia masih sibuk dengan ponselnya. Divya pun kesal, lalu mengetuk meja kecil yang menjadi tempat menyimpan kaktus kecil dalam pot.

"Bentar," sahutnya singkat.

"Kalau gak penting, aku masuk lagi. Lama!" perempuan berdaster biru itu beranjak dari kursi.

"Udah nih, duduk dulu atuh Divya! Ga sabaran pisan kamu mah," ucapnya santai sambil menyimpan ponsel di dekat pot kaktus mini. Dicky menegakkan badan, lalu agak menyerongkan posisi duduknya dan menatap Divya dengan serius.

"HP kamu rusak?"

"Enggak."

"Terus kenapa susah banget dihubungi? HP itu fungsinya buat komunikasi, kan? Kalo gak dipake, jual atuh sekalian." Nada suara Dicky terdengar serius dan terselip nada sindiran di dalamnya.

Divya melempar tatapan tajam padanya, tak terima dengan kalimat yang baru saja diucapkannya.

Dicky meraih ponsel, lalu menggerakkan benda pipih itu ke dekat Divya, supaya perempuan itu bisa membaca tulisan yang ada di kolom chatnya. Dari sudut matanya, Divya melihat sekilas bahwa Rafka mengirim pesan pada Dicky, tetapi ia enggan untuk membaca sepenuhnya.

"Kamu ke sini mau kasih nasihat, Ky?" Divya mengerutkan kening menatap sepupunya.

"Enggak, aku cuman mau ngobrol aja sama kamu, siapa tau kamu sadar," ucap Dicky sambil melempar tatapannya ke arah lain.

"Masalah kalian itu apa sih? Sampe seminggu lebih gini puasa komunikasi, aku bukannya gak mau jadi penyambung lidah atau penyambung mata kalian, tapi apa enaknya kalian bersikap kayak gini? Harusnya kalian saling support, Vy, di saat kondisi sekarang ini. Bukan malah saling mengabaikan," ungkapnya dengan suara lebih bersahabat. Tanpa sadar, Dicky akhirnya mengatakan keresahannya.

"Kamu bolehlah anggap aku sotoy atau sok dewasa, terserah. Tapi, kamu mesti inget, sampai kapanpun, masalah gak akan selesai, kalo kalian terus-terusan kayak gini. Yang ada salah paham, sama prasangka buruk bakal makin luas. Merembet kemana-mana nantinya. Aku ngerti kamu sedih karena Rafif, tapi apa Kang Rafka juga gak sedih? Dia juga ayahnya Rafif, Vy. Dia juga pasti ngerasain hal yang sama. Cuma dia bisa lebih rasional dia bisa berdamai sama takdir lebih cepet."

"Kamu gak ngerti masalahnya, Ky," gumam Divya dengan kepala menunduk menatap lantai.

"Ya, emang. Tapi aku ngerti kalau kalian egois, kalian malah saling abai, gak coba buat menyelesaikan semuanya."

My Dearest PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang