Ia yang Tak Pernah Diduga

115 16 6
                                    

Bagian 13 MDP

🎁🎁🎁

Kedua lelaki itu memarkir motornya saling bersisian di pelataran kedai yang masih cukup ramai, setelah menghadiri pengajian bulanan rutin untuk umum di pesantren yang ada di lingkungan tempat tinggal mereka.

Setelah itu, si pemilik kedai berjalan lebih dulu, diikuti oleh Rafka yang berjalan sambil menahan hawa dingin malam itu. Kedua tangan laki-laki itu dimasukkan ke dalam saku jaket, berharap rasa dingin berkurang dengan suhu di dalam saku.

Niatnya untuk pulang ke rumah ia urungkan, karena sedang tidak dalam kondisi yang baik untuk bertukar sapaan dengan istrinya yang masih dalam mode mogok bicara. Di bawah jam sepuluh, kemungkinan besar perempuan yang berstatus istrinya tidur sangat kecil. Ia tahu betul kebiasaannya.

"Denger-denger mau lanjut S2, Kang?" tanya Dicky tiba-tiba, tepat setelah tangannya mendorong pintu kedai yang terbuat dari kaca. Laki-laki itu sungguh tidak sabar menanyakan perihal kebenarannya.

Rafka refleks menahan pintu kaca kedai, "Divya cerita?"

Dicky tersenyum simpul seraya mengangkat kedua bahunya, lalu melenggang masuk ke dalam. Rafka hanya mengembuskan napas berat, lalu menyusulnya masuk, dan memilih duduk di dekat jendela.

Keheranan Rafka akhirnya terjawab, sejak ia bertemu dengan Dicky di pengajian, hingga mereka akhirnya pulang bersama, Dicky menatapnya dengan pandangan yang Rafka sendiri tidak bisa mengartikannya. Seolah-olah ia tengah dihakimi atas hal yang tidak diketahuinya pasti.

Suasana kedai cukup ramai, kesan hangat tercipta berkat lampu-lampu berwarna kuning gading yang tergantung di beberapa titik, dan beberapa lampu tumblr yang merambat di dinding kedai, hanya pojok baca yang memiliki penerangan maksimal berkat lampu berwarna putih. Rak buku berwarna putih berisi buku-buku bacaan berdiri tegak di sisi tembok, dilengkapi dengan karpet dan meja baca di tengah-tengahnya. Spot tersebut adalah ruangan paling ramai saat siang hari.

Kedai milik Dicky itu tak jarang dipenuhi oleh mahasiswa atau pelajar yang mengerjakan tugas secara berkelompok, sambil bersenda gurau atau saling melempar ledekan satu sama lain, seperti yang tengah berlangsung malam ini.

Melihat interaksi mereka, Rafka tiba-tiba teringat akan masa-masa sekolah dan kuliahnya dulu, berdiskusi bersama, mengerjakan tugas sampai larut malam di kosan atau di tempat yang menyediakan akses internet, sambil bercerita apapun, sampai terkadang lupa waktu.

"Divya gak cerita. Dia tanya aku tau atau nggak soal itu, Kang." Dicky meletakkan secangkir kopi yang masih mengepulkan asap di meja, lalu ia menarik kursi dan duduk di hadapannya.

"Thanks, Ky."

Tangan kanan Rafka menggeser cangkir kopi berwarna hitam yang diberikan Dicky supaya lebih dekat, lalu ia pun menempelkan kedua telapak tangannya di permukaan cangkir. Seketika itu juga, aliran hangat dari kopi panas di dalam gelas berpindah ke telapak tangannya.

"Dia marah sama saya, Ky, udah hampir seminggu ini." Rafka akhirnya membuka cerita, karena sebenarnya ia bingung tidak tahu harus mengatakan apa pada sepupu iparnya tersebut, tetapi ia mencoba untuk membuka topik obrolan dan berharap mendapat solusi.

"Oh ..." Dicky manggut-manggut dengan tangan menyilang di dada. "Pantesan aja muka Kang Rafka kusut banget keliatannya," lanjutnya menahan tawa.

Rafka hanya meringis, lalu menyesap kopinya perlahan, setelah menghidu aromanya terlebih dahulu.

"Cara saya salah dari awal, saya akui itu, jadi wajar dia marah kayak gini. Tapi, saya beneran gak ada niat buat bohong atau nutupin semuanya dari Divya atau dari keluarga, niat saya cuma mau fokus sama tujuan saya dulu, lagi pula ini rencana lama saya. Tapi jadinya malah jadi gini. Padahal semuanya belum tentu juga, tapi Divya udah marah kayak gini, gimana kalau beneran saya berangkat?"

My Dearest PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang