Pergi untuk Kembali

39 6 0
                                    

Hai, teman-teman. Selamat membaca, semoga bermanfaat dan terhibur ✨🌻

***

BAGIAN 28 MDP

Sepulang dari makam, mengantar Gifari berziarah ke makam Rafif-cucu pertamanya, Rafka langsung kembali ke rumah. Karena ayah mertuanya pun sudah pulang. Tidak banyak cerita yang Rafka dengar dari Gifari, mereka hanya mengobrol seadanya.

Laki-laki berkaus merah itu mematung di depan pagar. Tatapannya memindai rumah bercat putih itu. Ternyata rumah yang homey, tampak tenang dan asri itu menyimpan memori pahit.

Hampir genap dua tahun. Rafka telah menikahi perempuan bernama Divya Safitri itu, ternyata Rafka tidak benar-benar mengenalnya, ia tidak tahu sedalam apa luka yang dialami dulu, ia tidak tahu seburuk itu hubungannya dengan sang ayah. Hingga momen mengerikan itu terjadi di hadapannya.

Divya yang ia kenal adalah sosok perempuan lembut, sabar, mudah tersenyum, dan cenderung riang ketika bersama anak-anak. Tetapi nyatanya, ada luka besar di dalam dirinya yang cukup mengejutkan.

"Seperti apa kejadian yang pernah terjadi di keluarga ini?" Rafka bertanya pada diri sendiri.

Setelah menghela napas dalam, Rafka termenung sambil mengamati lantai berwarna putih yang ia pijak, lalu Rafka pun meraih sapu, mengumpulkan pecahan beling yang berserakan pada satu titik dan membuangnya ke tempat sampah, setelah melapisinya dengan beberapa plastik dan menempelkan kertas dengan tulisan 'HATI-HATI, SAMPAH PECAHAN BELING'.

***

Mayoritas anak perempuan menjadikan ayah sebagai sosok cinta pertama dalam hidup mereka. Seperti halnya ketiga kakak Rafka yang cukup dekat dengan Abahnya. Rafka mengira, Divya pun pernah merasakan hal seperti itu. Hanya saja, cinta itu terlukai oleh pilihan hidup yang sudah diputuskan dan pada akhirnya cinta itu harus tertutupi luka yang meninggalkan jejak sampai detik ini.

"Kaget ya, Kang?"

Suara Sayyidah mengusik lamunan Rafka yang tengah duduk di ruang tamu, memandangi foto pernikahannya yang dibingkai figura putih. Rafka menoleh, lalu mengulas senyum tipis. "Vya gimana, Bu?" tanyanya, kemudian menegakkan tubuh.

"Tidur." Sayyidah duduk di kursi, tak jauh dari Rafka, lalu ikut mengamati foto di dinding. "Orang-orang yang kenal Divya sekilas atau lewat foto saja pasti gak mengira bahwa anak itu lukanya banyak." Sayyidah tersenyum getir, menjeda kalimatnya. "Waktu pertama kamu ketemu ibu, di rumah mang Adam, ibu sudah bilang kan kalau keluarga Divya tidak utuh?"

Rafka menganggukkan kepala, menyimak ucapan ibu mertuanya. "Iya, Bu."

"Divya pasti sudah menyimpan amarah itu sejak lama, mungkin sejak dia masih kecil. Dulu, kami tidak berani melawan. Karena satu kata saja terucap, maka semuanya akan semakin kacau. Ibu rasa ...," Sayyidah menoleh sekilas pada menantunya. "Bapaknya pantas mendapat perlakuan seperti itu, meskipun memang hal itu tidak bisa dibenarkan dari sudut pandang manapun, sebab kita diajarkan untuk tetap menjaga sikap pada manusia terutama orang tua, seburuk apapun, mereka tetap orang tua kita kan?"

Rafka lagi-lagi mengangguk, sambil mencerna setiap kalimat yang terucap.

"Ibu pikir, hukum tabur tuai itu masih berlaku, contohnya kejadian hari ini. Mustahil kan kita menanam pisang tapi mengharap berbuah anggur?" Sayyidah terkekeh pelan, lalu mengusap sudut matanya.

Rafka tersenyum, setuju dengan pernyataan yang baru saja ibu mertuanya ucapkan. Terlepas dari separah apa luka yang dimiliki keluarga Divya ini, Rafka tidak berhak untuk menghakiminya.

Rafka sadar, ia hanya orang luar yang tidak tahu apa-apa tentang persoalan keluarga Divya dulu. Rasanya tidak pantas pula, jika ia harus mengorek masalah yang mungkin hanya ingin disimpan rapat oleh mereka.

My Dearest PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang