8 - Salah Paham

119 16 0
                                    

***

Divya duduk membungkuk, dagunya ia sandarkan pada buku di meja. Perempuan sipit itu tampak gusar, perhatiannya tertuju pada layar ponsel yang menampilkan kolom chat. Perasaannya semakin tak karuan ketika centang dua itu berubah menjadi biru, tetapi respons tak juga ia dapatkan.

Beberapa murid yang masuk ke perpustakaan tersebut saling melempar tatap karena sapaan mereka tidak dijawab Divya. Mereka pun melenggang masuk setelah mengisi daftar kunjungan di meja seberang tempat Divya duduk.

Meski raga perempuan itu duduk di sana, tetapi pikirannya berkelana jauh entah ke mana.

"Bu Vya! Hei ...," tegur Latifah kedua kalinya sambil mengetukkan punggung tangan di meja.

"Eh, apa?" Divya tersentak.

"Ngelamunin apa, sih, siang bolong gini?"

Perempuan bertubuh tinggi nan berisi yang bertugas sebagai pustakawan sekolah itu langsung duduk di kursinya, tepat di sebelah Divya, setelah menitipkan perpustakaan sebentar pada Divya karena ia dipanggil kepala sekolah.

"Kenapa, Bu? Ada masalah?" tanyanya lagi sambil membuka botol minum.

Divya menggelengkan kepala seraya membalik ponsel, lalu menyilangkan tangan di dada. Bibirnya mengulas senyum pada rekannya. Ia tidak berniat bercerita tentang hal yang mengganggu ketenangannya.

"Pengantin baru mah masih anget-angetnya, biasanya mah gak ada masalah yang serius, sih. Iya, 'kan, Bu?" celotehnya santai.

Divya mengangkat bahu acuh, ia tidak tahu pasti.

"Aku agak puyeng sedikit, Bu. Mungkin karena kurang tidur," kilahnya.

Karena sebenarnya dirinya pun tidak tahu, apakah yang dipikirkannya bagian dari masalah atau bukan. Hanya saja ia merasa ada yang aneh dan asing dengan teman hidupnya itu.
Sosok suami yang dikenalnya kini seperti sosok yang asing baginya. Divya merasa ada hal yang disembunyikan dan dirinya kini tengah dihantui oleh rasa penasaran itu.

"Assalamu'alaikum, Ibu-ibu ...," sapa seseorang di ambang pintu perpustakaan.

"Wa'alaikumussalam," jawab Divya dan Latifah hampir bersamaan.

Seorang laki-laki berkaus putih dengan peluit tergantung di lehernya itu masuk dan berdiri di depan meja tempat dua perempuan itu duduk.

"Lagi pada gosip, ya?"

"Hih, suudzon aja, emang tiap perempuan kalau ngobrol itu ngegosip apa?" omel Latifah tidak terima. "Jangan dipukul rata gitu dong."

"Ya, kan, biasanya gitu, Bu Lat," sahut Damar santai. Guru olahraga itu tertawa. "Perempuan itu kalau ngumpul ya biasanya ngumpulin lemak atau ngumpulin dosa," tambahnya asal.

Sementara itu, Latifah merengut kesal karena celotehan tak beralasannya itu, dan ditambah lagi ia dipanggil 'Bu Lat' oleh Damar. Tubuh perempuan itu memang cukup berisi, apalagi pipinya terlihat menggemaskan dengan sapuan make up soft di wajahnya membuat perempuan itu lebih memesona.

"Kayak laki-laki gak gitu aja, kalau kumpul-kumpul kan pasti ngumpulin penyakit, bukan malah ngumpulin duit." Latifah membalas dengan nada santai, sedangkan tangannya sibuk merapikan beberapa barang di meja. "Terus awas ya kalo panggil-panggil 'Bu Lat' lagi! Body shaming tau!"

"Body Shaming gimana? Namanya Latifah kan? Jadi ya bener dong kalau dipanggil Bu Lat." Damar membuka kedua telapak tangan dan setengah merentangkannya. Ia sama sekali tak mengacuhkan raut wajah Latifah yang jelas-jelas tampak kesal.

"Tau ah, pergi sana ke lapang!" usirnya sembari mendelik ke arah Damar.
Namun, Damar tak beranjak dari tempatnya, ia justru asyik dengan ponsel di tangan.

My Dearest PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang