Egois

105 16 1
                                    

Bagian 12 MDP

Ruangan yang berada di belakang rumah itu tampak hening, meski di sana ada tiga orang perempuan yang tengah bekerja sama. Suasana itu tidak seperti biasanya, jika mereka kumpul maka tak jarang gelak tawa hadir.

Saking heningnya, jika sebuah jarum terjatuh pun pasti akan langsung terdengar jelas.

“Kalau kakeureut, terus getihan, nangis nanti kamu, Vy!” tegur perempuan berusia setengah abad lebih itu, sejak beberapa saat ia memperhatikan putri sulungnya tidak fokus, setelah menawarkan diri untuk membantu pekerjaannya di dapur.

Divya yang cukup tersentak dengan teguran sang ibu, langsung meletakkan pisau yang dipegangnya di atas talenan kayu berisi potongan cokelat batangan.

Ia berharap rasa kesal atau pikiran tentang Rafka bisa teralihkan dengan membantu sang ibu di dapur. Tetapi nyatanya tidak sama sekali, justru pekerjaannya tidak maksimal, cenderung kacau.

“Mikirin naon atuh, Vy? Meni sampe ngelamun kitu?” sang ibu basa-basi bertanya, tanpa menghentikan tangannya menguleni adonan kue biji ketapang dalam baskom.

Tempo hari, menantunya sudah menceritakan persoalan yang dihadapinya, ia berharap mendapatkan solusi dari mertuanya itu. Karena dirinya kehabisan cara untuk mengurai benang kusutnya.

“Biasalah, Bu. Gak keitung yang dipikirin mah, banyak.” Divya menarik bibirnya terpaksa, hingga seulas senyum terbit begitu saja.

“Ya iya, namanya manusia,” jawabnya spontan. “Kalau kamu mikirin soal beasiswa Rafka, coba kalian bicarakan lagi,” sambungnya.

Kening Divya pun mengernyit, ia cukup terkejut mendengar respons ibunya. Ia tidak mengira bahwa Rafka sudah memberitahu mertuanya.

“Ibu tau sejak kapan soal itu?”

“Dua hari lalu Rafka cerita, dan ibu sepertinya paham. Ya ... meskipun ibu mah gak terlalu paham soal beasiswa atau apalah itu namanya. Tapi intinya mah itu untuk kebaikan keluarga kalian. Coba kamu pikirkan lagi pake kepala dingin, jangan terbawa emosi dulu, Vy.”

“Tapi ... Kang Rafka itu egois, Bu,” jawabnya pelan.

“Semua manusia rata-rata egois, Vy. Karena sifat alaminya memang begitu, cuman ada yang dominan, ada juga yang engga. Jangankan sama sesama manusia, sama Allah juga manusia mah suka gitu. Egois. Maunya apa-apa dikabulkan, dituruti sama Allah, tapi kewajibannya sama Allah seenaknya diabaikan.”
Divya bungkam, ia tidak tahu harus bagaimana menimpali ucapan sang ibu. Pikirannya terlalu riuh dengan persoalan-persoalan yang ada, hingga ia kesulitan berpikir dengan jernih.

Namun, mengetahui keberanian Rafka menceritakan perihal hal yang dihadapinya membuat Divya merasa lega, entah kenapa.
Ingatannya kembali terlempar ke masa-masa awal mereka menikah, saat itu Rafka bercerita tentang kehidupan semasa kuliahnya, dan saat itu pula Divya mengenal Rafka lebih intens pasca menikah.

Rafka memang bukan bintang kampus, bukan mahasiswa dengan prestasi segudang, tetapi ia memiliki kemampuan lebih dari segi intelejensi, ia pun memiliki karakter yang baik di kalangan teman-teman juga orang yang mengenalnya. Dan Divya tahu, itulah kenapa first impression-nya pada laki-laki itu mengantarkannya kini pada ikatan pernikahan.

“Dalam rumah tangga atau dalam hubungan apapun, komunikasi itu hal terpenting, Vy. Coba, sekarang kamu pikirkan baik-baik, mau sampai kapan saling diam begitu? Jadikan pernikahan ibu cerminan buat kamu, Vy. Jangan sampai gara-gara komunikasi macet, nantinya jadi masalah besar, yang amit-amit bisa kayak orang tua kamu ini ...,”

“Bu ... udah ah, gak usah dibahas lagi,” sergahnya, sebelum sang ibu berhasil menyelesaikan kalimatnya.

Gagal dan berantakan. Itulah kenyataan yang tidak bisa dielakkan lagi. Keluarganya berantakan dan tidak akan pernah bisa sama lagi, walau bagaimana pun caranya. Dan jika ada kesempatan pun, Divya tidak menginginkan keluarganya kembali lagi.

My Dearest PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang