•Bijaklah dalam membaca. Jangan menyangkut-pautkan kehidupan nyata para visual dengan cerita ini•
Kembali mengecek isi tasnya, Kiran menggeleng dan menatap Alaric. “Enggak ada yang ketinggalan kok,” katanya.
Alaric memicingkan matanya. “Kemarin kamu juga bilang gitu, tapi pas sampai rumah ternyata hp kamu ketinggalan di kasir,” ingat Alaric soal kejadian semalam.
Kiran tertawa kecil. Meyakinkan diri sekali lagi bahwa tidak ada yang ketinggalan kali ini.
“Enggak ada yang ketinggalan, Bang.”
“Yakin?”
Mengangguk singkat, Kiran langsung mendudukkan diri di belakang Alaric. Melingkarkan tangannya di perut Alaric, sebelum pemuda itu melajukan motor meninggalkan toko.
Setiap pulang kerja, Kiran tidak pernah dijemput orangtuanya maupun kakaknya. Ia selalu diantar Alaric jika Tama tidak bisa mengantarnya pulang. Karena biasanya Tama-lah yang mengantarnya pulang sekaligus pergi jalan-jalan walaupun malam semakin larut.
Bukan dengan Tama seorang, saat bersama Alaric pun mereka tidak langsung pergi ke tempat tujuan—rumah Kiran—melainkan mengitari desa tempat tinggal Kiran sebelum benar-benar mengantarkan gadis itu pulang ke rumah.
“Abang!” panggil Kiran setengah berteriak.
“Iya?”
“Kiran capek. Pengen istirahat yang lama. Minimal tidur sepuluh hari gitu,” adu Kiran dengan suara rendah. Tentu saja Alaric bisa mendengarnya. Karena posisi Kiran tengah memeluk Alaric dengan dagu yang bersandar di bahu kanannya.
“Enggak boleh ngomong gitu. Nanti kalau ada malaikat lewat terus dikabulin gimana?”
Kiran tidak menggubris. Sudah sangat yakin gimana balasan cowok itu. Kalau tidak memarahinya ya memberi nasihat.
“Kiran,” panggil Alaric lembut sambil meraih tangan kiri Kiran untuk digenggam. Mengelus punggung tangan tersebut menggunakan ibu jarinya, guna menyalurkan kehangatan. Alaric tahu, dunia Kiran sedang tidak baik-baik saja. Tapi dia juga tidak bisa berbuat apa-apa, karena Kiran lebih memilih menceritakan keluh-kesahnya pada Tama.
Alaric kalah. Ia sadar jika selama ini kehadirannya hanya mengisi kekosongan hati Kiran saat Tama tidak berada di sisi gadis itu. Ia juga sadar jika Kiran telah jatuh cinta pada kakak sepupunya itu. Andai ia bisa memberitahukan segalanya, mungkin Kiran tidak akan menjatuhkan hati pada Tama.
“Abang enggak ada niatan bawa Kiran pergi?"
Alaric terkekeh. “Maksudnya nyulik kamu?"
“Iya. Siapa tau Bang Al mau ngerawat Kiran kayak anak sendiri.”
“Jadi istri aku aja kalau pengen dirawat sama aku.”
Kiran menegakkan duduknya. Melepaskan pelukannya dengan spontan. “Abang ngomong apa? Kiran enggak denger. Maklum, lama enggak bersihin congek.” Kiran mendengarnya dengan jelas, tapi ia melakukan ini semata-mata untuk memastikan saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANCABAKA [TERBIT]
Teen Fiction[Beberapa chapter dihapus untuk kepentingan penerbitan] Satu Minggu yang lalu, Tama mengatakan, "Jangan baper, Dik. Udah om-om." Tapi, semalam Tama meminta, "Jangan berubah, ya? Tetep jadi Kiran yang dekat sama Mas Tama, nyaman di samping Mas Tama...