Bagian 14

59 9 2
                                    

•Bijaklah dalam membaca. Jangan menyangkut-pautkan kehidupan nyata para visual dengan cerita ini•

Udara malam yang terasa dingin tidak mengusik tidur nyenyak Kiran. Dengan bersandar pada bahu Alaric, gadis itu menutup mata indahnya. Membiarkan hembusan angin yang dingin menusuk tulangnya. Tangan kanannya digenggam Alaric, sesekali diusap dengan ibu jari pemuda itu.

"Kamu mau tidur di sini?" Alaric bersuara. Kiran diam. Sudah pergi ke alam mimpi.

Alaric tersenyum. Ibu jarinya mengusap punggung tangan Kiran. Dingin. Ia tahu gadis itu kedinginan, tapi keras kepalanya tidak bisa dikalahkan oleh Alaric. Hanya bisa menghela napas pasrah sampai Kiran sendiri yang meminta untuk kembali ke ruang rawat ibunya.

"Bang Al," Kiran memanggil, "dingin...."

Benar saja.

Kiran menegakkan bahunya kembali setelah satu jam bersandar di bahu Alaric. Saat hendak mengucek matanya, Alaric langsung menahan tangan mungilnya. "Jangan dikucek, nanti perih. Mata kamu sensitif, Ran," tegurnya.

Gadis itu hanya mengangguk. Beralih mengerjapkan matanya guna menstabilkan cahaya di sekitar. Tangannya masih setia di genggaman Alaric, membuat rasa nyaman menyelimuti.

"Bang Al mau pulang sekarang?"

Alaric menoleh sekilas, lantas kembali memandang rembulan yang sempurna berbentuk bulat. "Maunya nemenin kamu. Tapi pasti nanti dicariin ama."

Kiran mengangguk paham. Ia berdiri dan menarik tangan Alaric.

Kini mereka berdiri berhadapan. Kiran yang hanya sebatas dada Alaric mendongak guna menatap pemuda itu. Tersenyum manis dan membenarkan rambut Alaric yang sedikit berantakan dengan kaki berjinjit. "Makasih, ya, Bang Al. Abang selalu nyempetin mampir ke rumah sakit selama ibu dirawat. Walaupun kalau pulang selalu kena omel Bang Ren atau Mas Tama," ucapnya dan mengakhiri kegiatan.

"Maaf, ya enggak bisa lama-lama," balas Alaric lalu mencubit gemas pipi Kiran yang bertambah chubby.

Kiran mengangguk. Mengambil tangan kanan Alaric dan mencium punggung tangannya. "Hati-hati di jalan. Jangan ngebut. Kalau ngantuk nepi dulu ke minimarket, beli air mineral buat cuci muka. Atau mampir ke mushola. Abang belum salat Isya, kan?" Alaric mengangguk sebagai jawaban.

"Nanti aja salatnya di toko. Udah malem banget ini." Alaric menutup resleting jaketnya. Mengacak rambut Kiran dan langsung berlalu dari sana. Berhubung taman rumah sakit dekat dengan tempat parkir, jadi Kiran meminta Alaric untuk langsung pulang tanpa berpamitan pada ibu.

***

Setelah dinyatakan kondisinya membaik, Kiran pulang dengan menggandeng tangan sang ibu. Di sampingnya ada Yuna yang membawa tas cukup besar perlengkapan ibunya. Tangannya yang menganggur pun digunakan untuk memesan taksi.

"Kamu pulang sama ibu dulu, ya. Kakak mau ke kantor bentar. Bosnya kakak mau ngomong penting katanya. Di rumah udah kakak masakin, ajakin Gema main, ya nanti? Soalnya Mas Ari pulang malem," terang Yuna setelah mereka berdiri di samping mobil putih. Taksi yang dipesan sudah sampai tepat ketika mereka keluar dari lobi rumah sakit.

Kiran mengangguk. Membukakan pintu penumpang dan meminta ibunya untuk duduk dulu, setelah itu menutupnya.

"Makasih, ya Kak. Maaf jadi ngerepotin kakak sama Mas Ari." Kiran mencium pipi kiri Yuna membuat sang empu langsung mengelap kasar bekas ciuman itu.

"Aaaaa... Kiraaan! Kamu tau 'kan kakak nggak suka dicium-cium gitu!" Yuna berteriak kesal. Sedangkan pelakunya hanya terkekeh geli. Ternyata kakaknya masih sama seperti dulu. Anti dicium-cium, kecuali sama suaminya.

ANCABAKA [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang