Bagian 9

70 14 1
                                    

•Bijaklah dalam membaca

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•Bijaklah dalam membaca. Jangan menyangkut-pautkan kehidupan nyata para visual dengan cerita ini•

"Ibu," lirih Kiran saat sang ibu perlahan membuka matanya.

Hati Kiran seperti disayat oleh belati ketika melihat dunianya terluka seperti itu. Mata kiri yang lebam dan bengkak, lehernya yang memerah bekas cekikan, dan juga bibirnya yang terdapat darah kering.

"Kamu dari mana saja?" Kalimat pertama yang keluar dari mulut sang ibu.

Kiran terhenyak. Suara itu tidak seperti yang Kiran dengar selama ini. Sangat lembut dan penuh perhatian, membuat Kiran meneteskan air matanya. Ia menggenggam tangan seseorang yang amat ia sayangi di dunia ini. Mataharinya, itulah sebutan yang sangat cocok untuk sang ibunda tercinta.

"Kiran semalem tidur di toko," jawab Kiran jujur, "ibu kenapa bisa sampai gini? Ayah ke mana?"

"Kiran semalem denger, ya? Makanya enggak pulang?" Susi bertanya tanpa menjawab pertanyaan dari sang putri.

Kiran diam. Perlahan ia menganggukkan kepala ragu. "Maafin, Kiran. Seharusnya Kiran enggak pergi lagi semalem biar bisa nolongin ibu waktu ayah ngelakuin ini," sesalnya menunduk dalam.

Susi mengelus tangan Kiran yang menggenggam tangan kanannya. Menariknya dan mengecup singkat tangan mungil itu.

"Maafin ibu udah jahat sama kamu. Seharusnya ibu enggak ngebiarin malaikat kecil ibu bekerja. Seharusnya ibu enggak ngasarin Kiran selepas ibu berantem sama ayah. Seharusnya ibu ngebesarin Kiran dengan baik. Masih banyak seharusnya lagi yang membuat ibu sangat menyesal. Maaf udah gagal jadi ibu yang baik buat Kiran. Maafin ibu, Kiran."

Tangis kedua wanita itu pecah. Mereka tidak perduli dengan pasien di bilik sebelah. Menceritakan apa yang dirasa selama ini, membuat Kiran benar-benar merasa terpukul.

"Ibu enggak pernah gagal. Ibu adalah ibu terbaik di dunia ini. Enggak perlu minta maaf." Kiran menggeleng keras. Berucap dengan napas yang tersendat membuatnya sulit berbicara dengan baik.

Tirai pembatas setiap bilik di belakang Kiran terbuka. Sang kakak—Yuna—menghampiri mereka. Memeluk tubuh Kiran dari belakang dan menumpahkan air mata di bahu adik kecilnya.

"Kakak juga minta maaf karena enggak pernah ada waktu buat kalian. Kakak minta maaf karena tadi udah kasar sama kamu, maafin kakak juga ya?"

Kiran semakin menangis tanpa henti. Mengelus tangan sang kakak yang memeluknya. "Kakak nggak salah," balasnya sesenggukan.

Yuna melepaskan pelukannya. Beralih berdiri di samping kiri sang adik. Menggenggam tangan Susi dan Kiran bersamaan. Mengecupnya singkat, lalu berkata, "ayo mulai dari awal. Kita bikin keluarga bahagia versi kita sendiri. Tanpa ayah baru, pengganti bapak yang udah tenang di sana."

ANCABAKA [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang