•Bijaklah dalam membaca. Jangan menyangkut-pautkan kehidupan nyata para visual dengan cerita ini•
"Udah, kalau emang enggak jodoh jangan dipaksa." Itu suara Rendy. Cowok dengan setelan casual menepuk bahu Alaric yang tengah melamun di depan mesin kasir. Hanya memakai kaos hitam dan celana hijau tua selutut, Rendy duduk di atas tumpukan stok barang di sudut ruangan kasir.
"Aku nggak nyangka, Bang. Selama ini nggak kepikiran juga," sahut Alaric. Tatapannya lurus ke depan yang langsung tertuju ke arah jalan raya.
"Namanya juga takdir. Udah sesayang itu tapi kalau beda keyakinan bisa apa?"
Lagi, Alaric sadar statusnya dengan Kiran. Hanya akan menjadi teman untuk seterusnya. Walaupun hati selalu ingin bersama dan memiliki gadis yang terlihat kuat namun rapuh di dalam. Ia menghela napas panjang. Memijit pelipisnya yang tiba-tiba terasa pening.
Pasalnya, ia sudah memberitahukan pada sang ibu di kampung halaman. Bahkan hampir sebagian keluarga besarnya tahu jika dirinya akan melamar gadis di tempat perantauannya sekarang.
Helaan napas kembali keluar dari bibir tipis cowok itu. Tatapannya sayu. Rambutnya tidak disisir, karena biasanya yang sering merapikan rambutnya adalah Kiran. Menyisirnya dengan jari-jari lentik gadis itu. Setelah itu mencubit hidung mancungnya dengan gemas sambil mengomel, "Sisir murah loh, Bang. Enggak niatan beli gitu?"
Nyatanya, Tuhan memiliki takdir lain. Ia dan Kiran hanya dipertemukan untuk saling menemani, bukan memiliki.
"Tuh, si cabe dateng," celetuk Rendy saat seorang wanita datang dengan senyum lebarnya.
Suara derap langkah sepatu semakin terdengar, namun Alaric hanya diam saja. Menolehpun tidak. Hingga sesuatu menarik tangannya dan mencium punggung tangannya.
"Assalamualaikum, Sayang," ujar Maul dengan setia menggenggam tangan Alaric yang tadi diciumnya.
"Jangan pegang saya," ketus Alaric menarik tangannya kasar. Membuat Maul mengerutkan bibir. Bukannya terlihat gemas, Alaric justru ingin muntah melihatnya.
"Jangan ganggu orang galau, bisa diterkam lo." Rendy mengingatkan. Ia tak lagi duduk-duduk santai seperti tadi. Tangannya sudah cekatan merapikan stok barang ke dalam rak dengan tinggi tiga meter di depannya. Memasukkan satu-persatu stok barang yang masih terbungkus plastik putih. "Kalau udah mendingan, bisalah lo pepetin. Udah nggak ada pawang dia," lanjutnya lalu terkekeh geli melihat ekspresi kesal Alaric.
Kedua mata Maul berbinar. Sudut bibirnya semakin terangkat mendengar penuturan Rendy. Dengan lancang, ia langsung bergelayut manja di lengan kanan Alaric yang semula ditariknya. "Jadi enggak ada pengganggu hubungan kita lagi dong," celetuknya.
Rahang Alaric mengeras. Dengan kasar ia menyingkirkan tangan Maul dari lengannya. Bahkan tak segan mendorong bahu gadis itu menjauh. Hanya dorongan ringan, bukan yang berlebihan.
"Kiran bukan pengganggu. Dia wanita saya. Yang pengganggu itu kamu! Orang baru yang tiba-tiba langsung nempel sama saya dengan cara fitnah Kiran." Alaric menatap tajam gadis dengan kemeja flanel kotak-kotak di badan rampingnya yang hanya memakai dalaman tank top dengan belahan dada yang sedikit terlihat.
"Satu lagi." Alaric menjeda ucapannya, berjalan satu langkah dan mendekatkan bibirnya ke telinga kiri Maul. "Jangan jadi cewek murahan. Pakaian kamu kayak gini tidak bakal menggoda iman saya." Setelah mengatakan itu, Alaric pergi meninggalkan kasir. Menaiki anak tangga cepat. Dalam hitungan tiga detik, sosoknya sudah tak terlihat di mata Maul.
"Pfffttt... Makanya jangan terlalu nempel sama Al. Udah tau orangnya gitu masih aja cari masalah." Rendy berceloteh dengan tangan yang masih sibuk merapikan barang. Bahkan keringat mulai terlihat di pelipisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANCABAKA [TERBIT]
Teen Fiction[Beberapa chapter dihapus untuk kepentingan penerbitan] Satu Minggu yang lalu, Tama mengatakan, "Jangan baper, Dik. Udah om-om." Tapi, semalam Tama meminta, "Jangan berubah, ya? Tetep jadi Kiran yang dekat sama Mas Tama, nyaman di samping Mas Tama...