11

2.1K 279 83
                                    

Semenjak pertemuan dengan Budianto waktu itu, mood Utara jadi sering dan gampang berantakan. Kalau ia tidak menjauh saat ia tersulut satu hal, ia bisa meledak. Jadi Utara sering memisahkan diri.

Ia bicara dengan neneknya, bahkan Utami, kalau Utara tidak mau keluarganya ini ada hubungan lagi dengan Budianto. Neneknya bisa mengerti, sangat mengerti. Tapi mungkin Utami tidak benar-benar paham, walau ia tau kenapa Utara sangat benci Budianto. Mendengar namanya saja Utara tidak mau.

Saat cerai dulu Utami masih terlalu muda untuk paham betapa ibunya kesakitan akan rumah tangga yang sangat dijaga itu hancur. Tapi Utara merasakan itu semua, ia paham, sakitnya, sulitnya Rahmi, Utara paham. Ia jadi sangat benci Budianto, bukan hanya karena lebih memilih istri mudanya, tapi juga karena Budianto menyakit Rahmi teramat sangat.

Yang namanya maaf untuk Budianto itu tidak akan pernah ada. Tidak masalah Utara dibilang anak durhaka. Peduli apa Utara? Justru Budianto yang tidak bertanggung jawab atas istri juga anak-anaknya. Pergi menghilang bertahun-tahun lalu kembali dengan alasan mau bertemu?

Tidak usah kenal lagi sekalian. Hidup Utara bahkan Utami sudah jauh lebih bahagia kini tanpa Budianto. Tidak perlu. Untuk apa mengemis maaf? Tidak akan pernah ada yang namamya maaf untuk laki-laki yang meninggalkan keluarganya kesulitan sendiri demi perempuan lain.

Utara, tidak akan pernah memaafkan yang namanya perselingkuhan.

Utara tidak mengatakan pada ibunya kalau Budianto tiba-tiba datang ke rumah neneknya, niat Utara, agar ibunya jauh disana tidak kepikiran. Tapi mungkin neneknya mengatakan pada Rahmi soal kedatangan mantan suaminya itu. Jadi waktu itu, Rahmi menelpon Utara. Bicara baik-baik berusaha dari hati ke hati meski tidak saling bertatap muka.

"Aku gak mau dia dateng-dateng lagi Bu."

"Bapak kan cuma mau liat kamu sama Tami aja Tar, cuma sebentar, gak lama."

"Dia bukan bapak aku! Aku gak pernah anggap dia bapak aku."

"Utara."

Utara diam sejenak, menarik napas, mencoba tenang karena sejak tadi ia hanya berteriak.

"Ibu tau kamu gak suka sama Bapak, tapi jangan sampe kamu gak ngakuin gitu dong. Bapak udah baik loh mau nemuin kamu sama Tami."

Tapi malah makin tersulut dengan kata-kata ibunya yang tidak pernah bisa meredakan Utara. "Udah baik? Bu! Dia ninggalin kita Bu! Dia bawa semua harta buat selingkuhannya, sampe kita hidup susah, sampe Ibu harus kerja sejauh ini yang gak tau kapan pulangnya. Ibu masih bilang dia baik? Baik dimananya Bu?!"

"Utara-"

"Aku tetep gak mau ketemu. Aku gak mau dia deketin Tami! Aku yang ngerawat Tami, aku yang ngajarin Tami segala macem. Bukan dia, Bu. Bahkan bukan Ibu!"

Ibunya di sebrang diam, menarik napasnya dalam-dalam. Menahan sakitnya kerongkongan karena harus menahan tangisan yang siap ditumpahkan.

"Masih bisa orang kayak gitu dibilang baik? Terus aku jahat? Aku jahat karena aku gak mau ketemu dia? Aku jahat karena aku gak mau anggap dia?! Aku jahat, Bu?!"

"Udah, Tara.. udah.. gak ada yang bilang kamu jahat."

"Ibu nih gak ngerti. Ibu gak pernah ada disini, Ibu gak pernah liat berjuangnya aku buat Tami. Aku nih harus jadi sosok kakak, bapak, bahkan ibu buat Tami, Bu! Ibu kemana? Ibu dimana?! Sehari aja Ibu gak pernah ada disini, di rumah, sama keluarga Ibu! Gak pernah! Ibu lebih milih ngurusin nenek-nenek itu dengan alasan CARI UANG BUAT AKU SAMA TAMI! Aku sama Tami gak perlu hidup kaya raya, asal Ibu bisa disini!"

"Iya Tara.. maafin Ibu."

"Tara.. udah. Nanti lagi ngobrolnya. Udah, udah." sang nenek turun tangan akhirnya, sakit hatinya melihat Utara menangis sambil berteriak meluapkan kekecewaan. "Udah. Matiin. Gak bisa kamu ngomong lagi emosi gini. Matiin." sampai dirampas handphone Utara dan dimatikan oleh neneknya. "Udah, udah."

You Own My Heart (BL 18+) [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang