BAB 09

6 4 0
                                    

                           (Bukan Saya, Pak!)

Happy reading

Calvin, Alarice dan lainnya hanya bisa memandangi dari kejauhan saat jasad Shania dibawa oleh para petugas untuk diperiksa lebih lanjut.

Alarice membenamkan wajahnya di dada bidang Calvin dan cowok itu pun juga merangkulnya erat. Rasa takutnya saat melihat kantong jenazah berwarna orange itu, membuat Alarice bernostalgia ke sepuluh tahun yang lalu. Di mana, Ayahnya juga meninggal dengan cara dibunuh oleh seseorang, hingga saat ini pelakunya tidak dapat ditemukan.

"Rasanya, gua nggak percaya kalau Shania, harus berakhir seperti ini," gumam David dengan suara yang sedikit bergetar.

"Iya. Apalagi, dia baru saja pamit dengan kita sekitar satu jam lalu," tambah Samudra yang juga tengah merangkul Mavira.

"Shania, andai gue tau lo, bakal kayak gini. Gue, pasti bakal temenin lo, walaupun lo menolak! Kenapa, lo nggak biarin gue ikut aja, kenapa?! Kalo gue ikut pasti Shania, masih hidup sekarang," ucap Vira diiringi dengan tangisnya.

"Nggak bisa begitu, Vir. Ini sudah takdir Tuhan akan kematian, Shania. Kita, hanya bisa mendo'akan semoga dia tenang di sana dengan anaknya," ujar Calvin seraya menatap rumah Shania yang dikerumuni oleh para polisi itu.

        ___________________________

Tok!   Tok!   Tok ....

Ketuk polisi itu pada sebuah rumah. Setelah sesaat, pemilik rumah tersebut pun muncul membukakan pintu.

"Ada apa ya, Pak?"

"Apa betul, Anda Roy mantannya korban saudari, Shania?" tanya polisi bertubuh tegap itu dengan tegas.

"I-iya, saya mantan Shania. Tapi, korban apa ya, Pak? Saya, tidak mengerti."

"Anda bisa jelaskan nanti. Sekarang, anda harus ikut kami dulu ke kantor polisi, karena anda diduga sebagai pelaku pembunuhan atas korban yang bernama saudari, Shania." Dua polisi lain bergegas memborgol lengan cowok yang merupakan mantannya Shania itu.

"Pak! Bukan saya, Pak! Saya, tidak tau apa-apa dengan kejadian, Shania." Cowok itu terus membantah. Namun, polisi tetap harus membawa cowok tersebut untuk diperiksa lebih lanjut. Karena, ada seseorang yang mengirim bukti, bahwa mantannya Shania ini diduga adalah pelakunya.

"Nggak! Nggak, bukan saya, Pak!" teriaknya.

          __________________________

[Bagaimana?]

[Beres, Tuan. Semua sudah sesuai rencana,]

[Bagus! Siapkan nomor rekeningmu dan pergilah sejauh mungkin dari sini.]

[Baik, terimakasih, Tuan.]

Raditya Mavoka Chadrawinata. Ya! Itulah nama asli Ayah angkatnya Alarice, yang kini tersenyum lebar mendengar kabar kalau rencananya sudah berjalan dengan lancar.
  
"Teruslah takut dan jangan lupakan masa lalu, Alarice!"

          _______________________
    
Dua hari kemudian, tampaknya seisi kampus masih saja membahas tentang kematian Shania. Mereka juga terdengar selalu menggosip tentang mantan pacarnya Shania yang kini mendekam di dalam penjara.

David bersyukur kalo dirinya tidak dituduh macam-macam. Mungkin,  karena tidak semua orang tahu tentang roommate itu.

"Untung lho Dav, nggak dituduh yang enggak-enggak sama anak kampus, padahal 'kan lo roommatenya Shania." Ucap Vira yang sambil sibuk menguncir rambutnya.

"Iya sih gua, beruntung tapi gua masih merasa bersalah sama Shania, yang sudah nampar dia," tutur David.

"Jadi, kamu juga yang buat Shania lebam begitu?" tanya Alarice sambil melotot.

"Wahh, parah sih itu. Pantes kemarin gue-" ucapan Vira terpotong oleh David.

"Heh, eh! Mana ada, gua mukulin sampai lebam begitu. Gua cuman nampar dia aja kemarin malam ada konflik dikit, terus dia pulang. Nggak ada tuh kdrt-kdrt an." Jelas David sembari menarik-narik rumput taman.

"Loh, terus Shania sampai lebam kek dipukulin orang gitu, ulahnya siapa dong?" Alarice yang tadi menusuk-nusuk tanah menggunakan lidi terperanjat mendengar penuturan David.

"Gue, yakin pasti mantannya Shania, deh Al," tebak Vira merasa yakin.

"Apa iya ya? Bisa aja sih, kalo dia pelakunya bagus aja sih 'kan udah masuk penjara," sahut Alarice dan David hanya mengangguk saja.

"Vin! Lo, tidur ya? Diam-diam aja lu," tegur David pada Calvin yang tiduran di kursi taman sedangkan, mereka bertiga duduk di bawah di rerumputan sambil mengingat-ingat hal kemarin.

"Nggak, gua dengar kok. Gua, cuman mikir aja kayaknya ada yang salah dengan kematian, Shania." Kemudian Calvin bangun dan duduk.

"Coba deh kalian pikir, waktu kita tanya si Roy mantannya Shania, dia bilang 'kan waktu Shania meninggal dia ada di kampus, Rehan juga tau kalo Roy di kampus karena mereka barengan habis itu baru pulang. Nggak mungkin kan waktu sesempit itu Roy bisa gunain buat celakain Shania." Ucap Calvin yang merasa heran.

"Iya juga sih, tapi kan ada buktinya kata pak polisi kemarin, kalo Roy menyelinap masuk gitu." Tambah Vira.

"Eh, Vin. Roy itu 'kan nggak mau nerima anak yang dikandung Shania. Kalo orang udah mau nyelakain itu, sesempit apapun waktu bakal dia gunain, Vin! Bisa aja Roy, begitu." Tukas David.

"Tapi, kemarin Shania satu hari sebelum kejadian, dia mau bilang sesuatu ke aku. Tapi, karena aku sibuk jadi nggak sempat buat ketemu. Kayaknya hal penting deh," ucap Alarice yang teringat ajakan Shania beberapa hari lalu untuk bertemu.

"Ya semoga aja itu bukan hal yang penting," sahut Calvin.

            ________________________

"Bos, sepertinya Alarice semakin dekat dengan teman-temannya. Bagaimana, Bos?"

"Tunggu saja nanti, tidak perlu terburu-buru. Mereka akan curiga kalau kita lenyapkan mereka semua dengan waktu dekat. Biarkan bunga bernafas sejenak sebelum kumbang menghampiri."

"Baik, Bos."

Siapa lagi dalang semua ini kalau bukan Ayah angkatnya Alarice. Ia juga yang melaporkan bukti palsu dengan foto palsu pelaku di hari kematian Shania, yang sebenarnya foto itu di ambil beberapa hari sebelum kematiannya Shania, lalu di hari kematian menyuruh anak buahnya untuk menyelinap masuk dan melenyapkan Shania. Itu ia lakukan agar ada seseorang yang bisa dijadikan pelaku dan polisi tidak menyelidiki kasus itu berlarut-larut. Dengan sengaja ia dari dulu membuat orang-orang tidak mendekati Alarice, agar Alarice tidak memiliki tempat bersandar ataupun bercerita.

Kemudian Radit menelepon seseorang di sebrang sana.

"Afkar, terima kasih sudah memberitahuku tentang gadis itu, yang sudah mengetahui rencana kita. Andai kamu tidak cepat mengatakan itu, pasti Alarice akan tahu segalanya."

"Iya, Om. Saya, melakukan ini untuk orang tua saya, Om."

Ternyata, Afkar termasuk kaki tangan Ayah angkat Alarice dalam memperhatikan circle pertemanan Alarice selain anak buah suruhannya itu. Ia terpaksa harus memberitahu pada Raditya Mavoka, tentang Shania yang sempat mendengar obrolannya dengan salah satu anak buahnya Ayah Alarice ketika di kampus. Karena itulah, Shania harus kehilangan nyawanya agar Shania tidak memberitahu Alarice perihal sebuah rencana.

"Shania, gua minta maaf atas semuanya. Gua yang udah membuat lo terluka hingga lebam seperti itu. Itu semua agar mulut lo, tidak berucap pada siapapun. Semoga lo, tenang di sana Shan,"

Lebih mengagetkan lagi, bukan David bukan Roy pelaku kekerasan pada Shania. Melainkan, Afkar yang mengangkat tangannya dengan alur yang sudah di rencakan oleh Raditya Mavoka.

CALVARICE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang