Bab 13

7 4 1
                                    

                     (SENGAJA DI RENCANA)

.
.
.

"Besok?" Potong Radit.

Afkar mengangkat wajahnya dan melebarkan matanya mendengar ucapan tiba-tiba Radit. Rasanya ia tidak siap melakukan hal itu, walau dirinya sempat kesal kemarin. Tapi, itu tidak membuatnya sesiap itu untuk melakukan hal tega seperti itu pada Alarice.

_________________________


"Tapi, Om. Saya-"

"Kamu tidak lupa, 'kan? Tentang perjanjian Ayahmu itu,"

Perjanjian yang kembali di ungkit oleh Radit, membuat Afkar serasa dirinya bagaikan tumbal oleh keluarganya. Afkar hanya terdiam dan berpikir keras, bagaimana caranya untuk mengulur waktu agar tidak melakukan hal itu. Tapi, bukan Raditya Mavoka namanya kalau tidak mendesak dan mengancam terhadap orang lain.

"Baiklah, aku kemari hanya mengingatkan itu saja kepadamu. Pilih saja bagaimananya kamu, Kar. Antara cepat melakukannya atau lambat tapi, keluargamu hancur seketika." Radit beranjak pergi menuju pintu keluar. Namun, ia kembali berpaling untuk memberitahu kata-katanya yang terlupakan.

"Kar, aku tahu kalau dirimu itu punya rasa terhadap Alarice, bukan? Jangan terlalu banyak berharap Alarice tetap seperti itu, kamu lakukan atau tidak, itu tidak merubah niatku untuk menghancurkan anak itu! Saranku fokuslah pada keluargamu, dari pada hatimu itu. Yaaa, bagaimanapun juga dirimu tidak akan bisa berbuat apa-apa." Radit pergi meninggalkan Afkar setelah mengucapkan kata-katanya.

Afkar yang mendengar itu mengepalkan tangannya, tanpa menghiraukan rasa sakit di tangannya yang terdapat bekas luka. Bagi Afkar sekarang, percuma jika dirinya ingin mengulur waktu, jika pernyataan Ayahnya Alarice seperti itu. Afkar benar-benar seperti penjahat sekarang, tidak bisa memilih jalan kebaikan untuk Alarice. Hanya ada dua pilihan, namun tidak akan mengubah apapun.

"Aaaarrrgghhh!"

Teriak Afkar merasa frustasi akan pilihan dan jalan tujuan.

___________________________

Setelah jalan-jalan hari ini dan sekarang sudah sore, membuat Alarice harus pulang ke rumahnya.

Calvin yang juga tidak mau terlalu memaksa sang pacar untuk terus selalu di sampingnya, membuatnya juga harus bersikap dewasa dengan hubungan mereka. Karena, ia tahu kalau hubungan yang mereka jalani sekarang bukan lagi tentang roommate, tapi sebagai pacar. Yang mana antara keduanya harus saling memahami, apalagi ia sedikit banyaknya sudah mengetahui bagaimana latar keluarga pacarnya itu dari Alarice sendiri yang menceritakannya kemarin malam.

"Calvin, aku nggak tau lagi kalau nggak ada kamu. Sejauh ini aku selalu mendapat perlakuan buruk dalam dunia pertemanan juga tekanan dari Ayah angkat aku. Tapi, setelah aku bertemu kamu aku merasakan sesuatu yang berbeda dalam hidup aku, Vin. Aku ngerasa nggak sendiri lagi, rasanya kayak ada sosok malaikat yang bisa nemenin dan selalu ada buat aku. Aku sayaaaaang banget sama kamu, Calvin."

Kata-kata dan air mata Alarice kemarin malam membuat Calvin merasa dirinya ingin memberikan seluruh hidupnya pada Alarice. Sedikit cerita dari Alarice juga membuatnya selalu ingin melindungi pacarnya nya itu dan Calvin berjanji dengan dirinya sendiri untuk selalu menjaga Alarice dari apapun itu.

"Calvin, makasih ya untuk hari ini."

"Sama-sama sayangku. Harusnya aku dong yang terima kasih sama kamu, karena udah ditemenin seharian sama bidadari cantik," goda Calvin sembari mengelus lembut kepala Alarice.

"Ah, bisa aja kamu, Vin. Ya udah kalau gitu aku masuk ya," ucap Alarice yang sudah berdiri di depan pagar rumahnya.

"Iya sayaaang, nanti kalau udah sampai kamar telepon aku ya," pinta Calvin.

CALVARICE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang