BAB 12

10 5 0
                                    

Happy reading
                               

(KAPAN?)

Bukannya mencoba menetralkan detak jantungnya, Calvin malah semakin dibuat gelagapan saat wajah Alarice yang hanya berjarak satu inci saja dengan wajahnya itu. Ia juga memandangi bibir Alarice di sana. Calvin, merasa kalau ini adalah kesempatan bagus baginya, tapi,

"Cup!"

        _____________________________

Saat Alarice sedikit membuka matanya, ia tidak menemukan Calvin di sampingnya. Mengerjap-ngerjapkan matanya, menyapu ke segala arah untuk mencari cowok itu, tapi tidak ia temukan di dalam kamar tersebut. Kemudian, Alarice menyingkap selimutnya dan turun dari ranjang lalu pergi keluar kamar.

"Calvin?" panggilnya.

Alarice mencari di ruang tamu, namun Calvin tidak juga ada di sana. Hanya tv yang menyala dan ada satu gelas minuman kaleng di atas meja depan sofa tersebut.

Saat Alarice mengikat rambutnya, sesekali ia mendengar suara desiran minyak panas dari arah dapur. Ia pun menuju dapur, tapi dirinya sedikit ragu. Apakah orang di dapur itu Calvin?

"Apa, Calvin ya yang masak?" gumam Alarice.

Sesampai di dapur Alarice tersenyum melihat punggung cowok tersebut yang sedang sibuk memasak. Tapi, ada yang berbeda saat ia memandangi dari belakang Calvin, cowok itu diam mematung ketika dirinya menghampiri.

"Calvin?" panggil Alarice yang duduk di kursi.

"Alarice," ucap Calvin yang terdengar sendu.

"Kamu masak apa, coba aku lihat, Vin?" Alarice hendak beranjak dari duduknya dan ingin melihat masakan Calvin. Namun, Calvin langsung membalikkan badannya sembari membentangkan kedua tangannya menyembunyikan masakannya.

"Eh, eh, Jangan dilihat!" ucap Calvin, sambil memegangi kedua pundak Alarice, karena pacarnya itu terus memaksa untuk melihat masakan Calvin di atas kompor tersebut.

"Aku, mau lihat," Alarice memaksa dengan sedikit berjinjit melihat di balik tubuh Calvin, tapi karena tubuh Calvin sangat tinggi membuatnya susah untuk melihatnya dan Calvin terus berusaha menyembunyikan masakannya.

"Udah nggak usah dilihat, kita keluar aja yuk. Makan di luar yuk," Ajak Calvin tiba-tiba.

Melihat tingkah Calvin yang mencurigakan membuat Alarice tetap kekeh ingin mengetahui apa yang disembunyikan Calvin. Mencoba mengakali Calvin, Alarice pun langsung memeluk tubuh Calvin. Tapi, ia menyembulkan kepalanya di bawah ketiak Calvin sehingga dapat melihat apa yang disembunyikan Calvin.

Calvin yang sudah merasa senang Alarice memeluknya, ternyata kepala Alarice malah masuk ke sela-sela lengannya. Itu membuat Calvin hanya  memeluk angin dengan posisi merangkul. Calvin memejamkan matanya dan mengulum bibirnya menahan malu.

"Astaga, Calvin!" Alarice langsung melepaskan pelukannya dan mematikan kompornya.

"Kalau nggak bisa masak, nggak usah masak, Calvin. Begini 'kan jadinya hangus semua. Hahahahaha, awww sakit!" ringis Alarice setelah tawanya. Calvin yang melihat Alarice meringis memegangi bibirnya langsung panik dan mendekati wajah Alarice.

"Kenapa, sayang?! Sini aku, lihat." Memegangi kedua pipi Alarice.

"Bibir aku sakit, Calvin." Alarice memajukan bibir bawahnya memperlihatkan pada Calvin.

Calvin tersenyum dan tertawa kecil memandangi bibir Alarice yang ada sedikit luka pada bagian kanan bibir bawah Alarice. Bibir Alarice terluka karena ulah dirinya malam tadi yang tidak sengaja menggigit kecil bibir Alarice.

"Iiiih, kok ketawa, sih. Calvin!" Pukul Alarice ke lengan Calvin.

"Hehehe. Sorry, itu tadi malam," Calvin terkekeh sembari mengingat kejadian malam tadi. Kemudian ia mengangkat tubuh Alarice dan mendudukannya di atas meja, lalu ia menarik kursi untuk duduk tepat di hadapan Alarice. Sehingga tubuh Alarice terlihat lebih tinggi dibanding dirinya.

"Ihh, sakit tau!" ucapnya dengan ekspresi merengut sambil melipat kedua tangannya.

"Makanya jangan mancing-mancing aku, dong," sahut Calvin yang mendongakkan kepalanya memandangi wajah pacarnya itu yang terlihat sangat gemas saat merengut.

"Ih, aku enggak mancing, kok." jawab Alarice.

"Apanya yang nggak mancing, kamu yang ci*m aku duluan, hayoo nggak ngaku kamu." Calvin hendak mencubit hidung Alarice, tapi meleset karena pacarnya itu langsung menghindar.

"Kamu sih, suara jantungnya keras banget. Dag dig dug! dag dig dug! Jadinya, 'kan aku nggak bisa tidur," ucap Alarice sambil mengoyangkan kepalanya saat menyebut Dag dig dug.

"Itu 'kan salah kamu," Calvin memeluk perut Alarice.

"Kenapa salah aku?" bingung Alarice yang menunduk sambil memainkan rambut Calvin.

"Kamu terlalu cantik, makanya jantung aku nggak bisa diam. Untung aja aku nggak berubah jadi Harimau, kalau udah berubah pasti sekarang kamu nggak bisa bangun pagi, hahahah." Calvin tertawa sembari menyundul-nyundulkan kepalanya ke perut Alarice, sehingga membuat Alarice ikut tertawa lepas merasa kegelian akibat kelakuan Calvin.

"Hahaha, udah Vin! Geli,"

Merasa gemas Calvin semakin erat memeluk Alarice dan membenamkan wajahnya di perut Alarice.

"Hahaha, udah Vin, geli tau!" Berusaha menjauhkan tubuh Calvin, tapi tidak bisa karena Calvin sangat kuat memeluknya.

Kemudian Calvin mendongakkan kepalanya dan tersenyum pada Alarice. Alarice pun membalas senyumannya dengan penuh hangat.

"La, maaf ya. Sebenarnya, aku itu tadi mau masak buat kamu, eh malah jadi gosong kayak gitu pastanya," ucap Calvin yang meminta maaf.

"Nggak papa kok, nanti aku yang buatin oke," sahut Alarice yang mengelus kepala Calvin.

"Maaf, aku nggak bisa masak," ucapnya lagi sembari meletakkan kepalanya di pangkuan Alarice.

"Iyyyaa. Nggak papa, Calvin sayang. Lagian, 'kan cowok nggak harus bisa masak,"

"Tapi kan, aku juga mau masak buat kamu,"

"Nanti deh, aku ajarin." Sahutnya.

"Beneran ya,"

"Iyaaa ...."

"Love you,"

"Love you too."

       ______________________________   

Ting nong!

Bell rumah di kediaman Afkar terdengar. Ia sedikit heran, siapa yang pagi-pagi sudah bertamu ke rumahnya. Tidak mungkin itu orang tuanya, karena mereka masih di luar kota.

Afkar pun menghentikan acara ngegym nya. Dengan memakai kaos singlet fitness, Afkar membukakan pintu rumahnya itu. Saat ia membuka pintu, ia terkejut melihat seseorang yang memakai jas hitam kantoran, yang tak lain adalah Ayahnya Alarice yang datang menemuinya.

"Pagi, Kar." Sapa Radit yang masuk begitu saja.

"I-iya pagi, Om."

"Kenapa, tanganmu?" Melihat tangan Afkar yang berbalut tebal kain kasa, membuatnya penasaran.

"Cuman luka biasa, Om."

Kemudian mereka duduk di sofa ruang tamu. Radit sedari tadi memperhatikan perban di tangan Afkar dan juga goresan luka pada lengan atas Afkar, yang mulai sembuh. Tapi, ia hanya diam tak ingin banyak bertanya pada Afkar.

"Jadi, kapan kamu melakukan hal itu."

"Secepatnya, Om."

"Secepatnya itu, kapan?"

"Setelah-"

"Besok?" Potong Radit.

Afkar mengangkat wajahnya dan melebarkan matanya mendengar ucapan tiba-tiba Radit. Rasanya ia tidak siap melakukan hal itu, walau dirinya sempat kesal kemarin. Tapi, itu tidak membuatnya sesiap itu untuk melakukan hal tega seperti itu pada Alarice.
.
.
.
See you next time ...
Wednesday night, CALVARICE.

CALVARICE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang