BAB 11

8 6 1
                                    

                                 (KEMBALI)

Happy reading


Teriakan Alarice begitu histeris melihat apa yang ada di hadapannya. Keringatnya mengucur begitu deras akibat rasa takut yang ia hadapi. Ia tidak percaya Shania masih hidup sekarang.

"S-shania? Ka-kamu,"

Shania yang terlihat pucat pada wajahnya itu, semakin mendekat ke arah Alarice. Itu membuat Alarice perlahan melangkah mundur tapi, ia malah menabrak kulkas yang tepat ada di belakangnya.

"Shania! Mau apa, kamu?"

Teriak Alarice yang begitu ketakutan. Shania terus mendekatinya dan Alarice terus berjalan mundur ke arah samping sehingga membuatnya mengitari meja makan yang panjang itu.

"Shania, aku mohon jangan mendekat. Mau apa kamu, Shania?"

Alarice terus melangkah mundur sampai dirinya tidak sadar lagi menabrak barang-barang dan vas bunga besar saat berjalan mundur. Ia terus berjalan mundur karena, Shania terus mendekatinya secara perlahan. Tanpa di sadari, ia kini berada di tangga dan Shania terus mendekatinya. Hingga membawanya sampai di depan kamar Ayah angkatnya itu.

Tiba-tiba Shania langsung mendorongnya hingga mendobrak pintu kamar Ayahnya dan menghempaskan ke dinding, mencekik Alarice sampai Alarice merasa kehabisan nafas. Namun, ia terus berusaha menahan tangan Shania agar dirinya bisa sedikit bernafas.

"Sa ... Sah ..."

Alarice tidak bisa mengucapkan sesuatu, tangan Shania semakin erat mencekik lehernya. Alarice mengeluarkan air matanya karena tak kuat menahan apa yang ia rasakan sekarang.

"Aaaa ... Sha ... Nia!"

Kedua tangan Alarice terus berusaha menjauhkan tangan Shania, tapi itu tidak berhasil. Shania begitu kuat mencengkram lehernya. Terbesit dipikirannya, apakah Shania, balas dendam dengannya atau apa.

Ujung ibu jari dan ujung jari telunjuknya semakin kuat menekan kedua sisi urat nadi leher Alarice. Wajah dan bibir Alarice mulai pucat merasa kehabisan nafas. Satu tegukan saliva saja tidak berhasil lolos di kerongkongannya. Ntah apa yang ada di hadapannya sekarang ini benar-benar di luar nalar.

"Aaacckkkkhh ...,"

Suara kerongkongannya terdengar seperti hampir di ujung maut. Wajah Alarice penuh dengan keringat, dengan tenaga yang sedikit. Alarice pun mencoba mengeluarkan tenaganya untuk berteriak.

"Shaniaaaaaaaaaaa ...."

"ALARICE!!!"

"Sayang, kamu kenapa?"

"Kamu, nggak papa 'kan?"

Alarice terbangun dari mimpinya, ia bersyukur semua itu hanya sebuah mimpi. Melihat Calvin yang begitu khawatir padanya dan melontarkan pertanyaan beruntun, membuat Alarice langsung memeluknya dengan erat.

"Hei, sayang kamu, kenapa?" Calvin begitu penasaran dengan apa yang dimimpikan Alarice. Karena sejak Alarice tidur dan bermimpi, pacarnya itu terus mencekik lehernya sendiri dan tidak mau dilepaskan.

Calvin melepaskan pelukannya, kedua tangannya kini berpindah memegangi wajah Alarice dan menyapu keringat sang pacar.

"Kamu, kenapa? Sejak tadi kamu terus mencekik lehermu, sendiri. Ada apa Alarice, ini minum dulu airnya," Calvin menyodorkan segelas air putih pada Alarice, agar pacarnya itu sedikit lebih tenang.

"Makasih, Calvin." ucapnya lirih.

"Jawab aku, La. Ada apa?" tanya Calvin lagi.

"Aku ... aku bermimpi bertemu dengan Shania, dia berusaha mencekikku, Vin! Wajahnya sangat pucat dan tangannya sangat dingin. Aku sudah berusaha menjauhkan tangan Shania, dari leherku tapi, dia sangat kuat! Shania nggak ngizinin aku untuk bernafas, dia terus mencekik leherku dan itu benar-benar terasa nyata, Vin! Terasa, sangat nyata!"

CALVARICE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang