20

290 43 2
                                    

Kediaman rumah Aris Tirtando terlihat ramai akan datangnya para pelayat. Semua orang berpakaian serba hitam untuk menunjukkan jika saat ini mereka sedang berkabung. Bendera kuning terpasang di depan menandakan jika saat ini sedang ada salah satu anggota keluarga di kediaman tersebut berpulang ke Rahmatullah.

Tila sendiri  duduk dengan tenang seraya membaca surat Yasin bersama beberapa perempuan lainnya. Wanita cantik itu tidak peduli jika saat ini tatapan tajam dan penuh kebencian dilayangkan Winar padanya.

Sementara Adam sendiri sedang sibuk di luar menjamu para tamu yang hadir untuk melayat jenazah Aris.

Tak berapa lama kemudian jenazah Aris akhirnya berangkat menuju sebuah tempat pemakaman umum yang jaraknya tidak begitu jauh dari kediaman Aris.

Beberapa orang tinggal di kediaman saat yang lain mengantarkan jenazah Aris. Tila dan ibunya contohnya. Kedua wanita itu tetap tinggal di rumah dan tidak ikut untuk mengantarkan jenazah.

"Bagaimana suamimu? Dia memperlakukan kamu dengan baik 'kan?"

Jumi menatap putrinya yang saat ini sedang duduk bersandar pada tembok. Saat ini mereka sedang berada di ruang tengah dan duduk di atas karpet yang tersedia. Mereka baru saja selesai merapikan rumah Aris yang sempat berantakan karena kehadiran banyak orang. Beberapa membantu mencuci piring dan peralatan yang sempat digunakan.

Tila menoleh menatap ibunya. Tidak mungkin ia akan berkata dengan jujur jika hubungannya dan Adam tidak pernah berjalan mulus. Tila tidak ingin membuat ibunya memiliki beban pikiran.
"Kalau nggak baik, aku tinggal pergi, Bu," bohongnya dengan sangat mulus. Wanita itu tersenyum manis guna meyakinkan ibunya jika Adam memperlakukannya dengan sangat baik. Terkadang, berbohong demi kebaikan juga baik untuk dilakukan, pikir Tila dalam hati.

"Baguslah kalau begitu. Ibu sebenarnya kurang suka dengan mertua dan adik iparmu itu. Mereka sepertinya enggak suka dengan kamu," kata Jumi. Wanita paruh baya itu sudah memerhatikan sikap Winar dan  Eddel sejak pertama kali Adam dan Tila menikah.

"Mungkin karena mereka lagi merasa kehilangan, Bu. Makanya bersikap seperti itu," sahut Tila. Ingin sekali ia mengatakan yang sebenarnya pada ibunya, namun Tila tidak ingin membuat sang ibu bertambah khawatir dengannya. Mengingat, ibunya pernah sakit-sakitan hanya karena memikirkan kondisinya yang parah saat itu.

Jumi dan Tila berbincang santai, sampai akhirnya para pelayat yang mengantarkan Aris ke peristirahatan terakhir kembali ke rumah.

Herman menatap putrinya. Tangannya bergerak mengusap kepala Tila. "Bapak tahu kamu adalah perempuan hebat. Bapak harap kamu bisa melewati semua ini." Herman menatap Tila dengan tatapan sayang. "Sebenarnya ini berat, namun ini adalah amanat yang ditinggalkan Pak Aris sebelum beliau pergi dengan cara menjodohkan kamu dengan Adam," kata Herman dengan suara lirih.

"Iya, Pak. Aku mengerti," tutur Tila.

"Kalau begitu bapak, ibu, dan masmu mau pulang dulu. Kamu jaga diri baik-baik di sini," kata Herman pada Tila. Tila mengangguk sambil tersenyum manis. Wanita itu mengantarkan kepergian orang tua serta kakaknya hingga di depan pintu utama. Setelah keluarganya pergi, Tila melangkah masuk ke dalam rumah menuju lantai 2 di mana kamarnya berada.

Sejak orang-orang pulang  dari mengantarkan  jenazah ke kuburan, Tila tidak melihat keberadaan Adam. Wanita itu mengangkat bahunya acuh.

Tila membuka pintu kamar dan tertegun saat melihat sosok Irena dan Adam berpelukan dengan posisi duduk di sisi tempat tidur.

"Sangat bagus," komentar Tila. Wanita itu tertawa sinis dan melangkahkan kakinya masuk ke dalam. Tujuannya masuk ke kamar tentu saja untuk mengambil ponselnya yang tertinggal. Namun, Tila tidak menyangka ia akan melihat pemandangan yang menyenangkan mata.

TERNYATA JODOHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang