3-Desa

15 3 2
                                    


Nina berlari menyusul kepergian sosok Ningsih, ia tak menyerah mengikuti kemana larinya perempuan berbaju kemben lusuh itu.

Langkahnya kian memendek, melihat sosok remaja versi lain dari Ningsih muda, ia tergopoh gopoh.

"Awuhh," rintihnya.

Kakinya terkena batuan tajam, mendapati luka di pergelangan kakinya, seperti mengejek Nina. Semua di lihatnya kini bukan ilusi dengan rasa sakit nyeri.

Kakinya di paksa mengikuti perjalan lincah dari Ningsih, ia sam asekali tak menyangka kaki telanjang perempuan itu masih lebih gesit dari dirinya.

Berjalan cukup pelan, setengah menyeret kaki kanan terluka tadi. Kini ia bisa melihat dengan jelas, Ningsih. Masuk kedalam rumah terbuat dari anyaman bambu dengan atap dari daun kelapa.

"Aku gak kelihatan 'kan?" monolognya mencoba ikut masuk kedalam. "Nin—"

'Bentar, tunggu! Ada yang aneh. Kenapa suaraku susah keluar sekarang, tangan...tubuhku?

Berlahan ia merasakan tubuhnya ringan, tak lagi bisa bersuara protes pada Ningsih yang kini ada di depannya...

Ningsih, ia cekatan memilah sayur mayur hasil mungut dari pasar, tak apa jika itu jatuh masih ia bisa bersihkan nanti.

"Mbak,udah pulang?" suara Sri, adik iparnya menintrupsi kegiatan mengoseng kangung, "Sri, lungguh, lungguh, sek. Iya, ini abis dari pasar. Kamu kenapa kemari, bapak ngak ada tha, di rumah?"

Sri perempuan jawa berkulit sawo matang, kontras dengan mbakyunya berkulit kuning langsat, Sri mengeleng lemah.

"Bapak nyawah, mbak." Sahut Sri, mertua dari Ningsih memang sebagai buruh tani. Kadang juga ngambil daun singkong.

"Mbak, ini kemarin banyak di rumah. Buat mbakyu sama kangmas bejo, ya." Sri menyerahkan buntelan sejak tadi ia gendong, membukanya memperlihatkan besar besar ubikayi dibawa adik iparnya.

"Wah, akeh'e. Ndak popo iki?" Ningsih melangkah lebih dekat pada Sri, ikut berjongkok melihat begitu besar ubi berisi lima biji.

Senyum polosnya merekah, "iso tak masak iki." Girang Ningsih, kebetulan ia sudah cukup lapar.

"Makan bareng yuk, ini kangkung'e udah mateng." Ajak Ningsih langsung di tolak Sri.

"Ndak, dulu mbak, bapak bentar lagi mau pulang. Mau mbalek aku ya, salam buat kangmasku, ya." Pamit Sri menarik tangan Ningsih untuk di salami.

Ningsih sumringah membersihkan kulit ubi untuk di kukus.

Duduk di dekat tungku api sembari meniup bara jika sewaktu waktu api padam, senyumnya tak luntur walapun panas.

"Yungalah, apik'e Sri. Dia ngasih aku ubi buat makan, mas bejo pasti bisa makan kenyang," gumam Ningsih di sela senandung kini di dendangkan.

"Sih, ningsih... ."

Pria muda dengan tubuh ceking, celana hitam selutut terlihat bekas tambalannya, Bejo. Pria itu meneriaki Ningsih dari papan kayu di beranda rumah.

"Mas!"

Ningsih perempuan muda itu berlari, mendapati suaminya terbujur di atas lincak, dipan untuk tidur atau sekedar duduk dari bilak bambu.

"Nyapo?" panik Ningsih melihat kondisi suaminya nampak membiru pungungnya.

"Ya, gusti... paringi sehat, badanmu udah kurus kok ya, bisa ini di pukul sampe gininya." Ningsih mengusap pungung Bejo berlahan.

"Udah, gak papa. Yang penting aku bawa duit. Besok bisa buat sayur, gak perlu mungut lagi." Bejo malah menampakan cengirannya memberikan uang koin, menyeerahkan pada istrinya.

Sri menerima kepingan uang itu dengan mata berair.

"Tapi jaga diri, tho. Badamu selalu gini tiap dapet duit, kamu mau aku jadi janda muda!" isak Ningsih sudah banjir air mata.

Bejo meringis ketika ia berusa menrengkuh tubuh istrinya, perempuan 16 tahun itu masih daun hijau merasakan kesusahan bersama Bejo.

"Ndak papa, ndak papa... besok kita makan, yang penting perut keisi dulu," hibur Bejo menguatkan Ningsih.

Menjelang malam, adalah malam yang cukup menyenangkan untuk pasangan muda ini, sekedar beristirahat serta melepas penat dari ganguan hidup selama ini mereka tanggung subuh hari.

"Ini ulahnya Sapto lagi, kan." Bibir Ningsih sudah manyun sambil membalur punggung suaminya dengan kunir serta beras kencur.

Bejo mengulas senyum, sekilas hanya menoleh ke belakang, mengintip istrinya tengah bermuram durja membuat bekas memarnya berkurang dengan herbal.

"Biarin, yang penting bisa makan lah, Dek. Mas gak tega kamu harus nyari sayur bekas lagi." Seloroh Bejo, Ningsih tersenyum kecut. Suaminya terlampau sabar.

"Mas," panggil Ningsih lirih.

"Ya, dek?"

"Mas, gak mau kita kabur dari desa ini?" bisik Ningsih di dekat kuping Bejo.

SURAT IBUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang