"Udah bisa beli ikan, gak nyari sayur buangan lagi."
Ningsih tersenyum, ia tak menyangka mendapat sahutan sinis dari si penjual, "Iya, bu. Makasih ya." Timpal Ningsih ramah.
Ia mengambil 3 ekor ikan terikat oleh rotan.
Ia melangkah pergi dengan perasaan lesu, di hina sesama pribumi lebih sakit dari pada oleh londo masa itu.
Ningsih berjalan melewati terjalnya jalanan, melewati jalan pintas. Dari arah berlawanan ia dapat melihat dua pria berbadan gempal haln berpapasan dengannya.
"Cah, ayuu. Mau kemana," goda pria berjenggot lebat, si berkumis terenyum melihat Ningsih dengan genit.
"Mau pulang, misi... ." pamit Ningsih sopan, ia ingin berlalu dari sana secepat mungkin, tangannya di cekal dengan kuat.
"Lah, nyapo muleh. Sini dulu ae." Si berjengot nampak ngotot maksa ningsih ikut bersama mereka.
"Ndak, saya mau pulang!" bentak Ningsih menghempaskan tanggan berlari menjauh.
"Woo, kejar!" seru si kumis menyusul si perempuan muda itu kemana perginya.
Mereka hanya menemui rimbunan pohon, tak ada namanya jalan setapak biasa di lewati orang.
"Kemana ini?"
"Gak eruh, aku." Si pria berjenggot juga nampak kebingungan, sejauh mata memandnag mengedar ke luasnya tempat mereka melihat terbatas pohon.
"Balik aja yuk, nanti di cariin." Putus si jengot mulai lelah dengan acara kucing kucingan, hasrat lelakinya sudah mulai turun yang tadinya naik melihat kemolekan tubuh daun muda.
Si kumis mengangguk, "ya udah, balik." Sahut si kumis berjalan pergi menjauh.
Kedua orang berbadan tinggi tadi sudah menyerah dan berbalik berputar arah kembali ke tujuan awal.
Sejak tadi Ningsih berdiam diri di atas pohon mangga rimbun, ikan tadi ia sembunyikan balik kain jarik, takut aroma amisnya akan tercium oleh dua orang tadi.
Ningsih memang anak desa dengan hobby mengambil rambutan bersama temannya saat kecil, ia bisa memanjat cukup lincah, bersukur ketakasan anak itu bisa menolongnya dari para algojo menir menir belanda.
"Matursuwun gusti, iso selamet." Syukur Ningsih terus merasa lega.
Ia berlahan berusa turu dari pohon dengan tangan masih memegang ikatan ikan.
* * *
"Cepet! masih ndak ngerti juga kalian, lelet." Amuk salah satu kepala pengawas di sana, melihat tak suka pada buruh nya, tugas mereka di sini adalah dipekerjakan untuk menjadi angkat angkat batu membangun bangunan parbrik dari intruksi kopeni serta jalanan untuk membuat rel.
"Apa kau liat liat!" maki Sapto kepada bawahannya. Tubuh tambunnya dengan tinggi rata rata pria asia membuatnya terlihat seperti angka sepuluh jika bersanding dengan pria belanda di sebelahnya sekarang.
"Jadi, mereka masih belum menyelesaikan tugas mereka." Pria dengan rambut priang serta bahasa indonesianya masih belum begitu asih namun bisa di pahami oleh mereka kaum pribumi.
"Maaf, tuan. Mereka memang lemot, otaknya pada dunggu dunggu." Ujar Sapto menjabarkan.
Pria bule bernama William itu melirik sekilas Sapto, "aku bakal terus mengawasi perkembangan proyek ini, saya percayakan ke kamu." putus si kompeni pergi meningalkan lokasi pekerja di susul dua ajudannya juga berdarah asing.
Wajahnya kian memerah galak, mengambil pecut menyabet tubuh para pekerja.
"Gara gara kalian aku dimarahi, kalau kalian lelet terus!" amuk Sapto garang, mereka disana terdiri dari kaum lelaki tubuhnya kurus kering tak terawat.
Mereka hanya bisa tertunduk takut, perasaan otoriter di sebarkan oleh sang penguasa mulai mendarah daging untuk mereka
Bejo menantap tak suka pada Sapto, ia hanya bisa menunduk menyembunyikan wajah bencinya pada pria itu, kalau di amau dirinya bisa saja membuat Sapto yang mulut besar itu tunduk dengannya sekali pukul, apa daya, kekuatan dari orang atas memang tak bisa diragukan lagi oleh kaum terinjak seperti mereka.
"Sudah, kalian bubar...lanjut kerja." Suruh Sapto mengusir mereka.
"Jo, wis. Terima nasip," sapa si bapak tua, ia juga salah satu pekerja di sana.
Bejo mengangguk lemah, "aku kesel, tapi bisa opo. Yang di belakang dia itu kuat kuat." balas Bejo lemah.
Perutnya pagi ini hanya terisi oleh daun singkong rebus, sampai siang ini dirinya belum sempat makan.
"Udah, kamu seng legowo, iklas."
Bejo mendengarkan nasihat dengan seksama, sampai suara melengking membuat atensi mereka tertuju.
"Kalian, kau sama bapak tua itu ... lagi ngapain!"
"Waduh," si bapak terkejut tubuh kurusnya bergetar.
KAMU SEDANG MEMBACA
SURAT IBU
Gizem / GerilimNina tak menyangka kemampuannya sebagai anak indigo mempertemukannya pada sosok kuntilanak, nyentrik. di kediaman sang kakek. Dia meminta Nina untuk membantunya, di masalalu ternyata Nina serta si hantu memiliki ikatan, alasan yang membuat si hantu...