5- Marah

13 3 1
                                    

"Ampun," si bapak itu badanya terlihat gemetar, giginya bergemeletuk, Sapto mendekat dengan mata melotot.

"Jangan malas malasan!"

"Ba-baik," ujar Bapak itu, tidak dengan bejo yang hanya diam mengangguk patuh.

"Kau gak jawab, kurang hormat dengan saya... ." Sapto sudah melotot tak terima Bejo terdiam sama sekali tak menjawab ucapan Sapto saat ini. Ia mengeram.

"Jawab, Jo!"

"Maaf, maaf... ." ucapnya tak mau membuat perkara, melihat Sapto menunduk meminta maaf dia menjadi bahagia, melihat orang yang selama ini hinda terlihat rendah.

"Ya sudah sana, pergi! Cepat kerja." Bentak Sapto kemudian.

Berjalan beriringan bapak tadi berbisik lirih, tak berani menoleh ke belakang.

"Kamu kenapa suka gak nurut sama juragan Sapto."

Bejo membeo, "juragaan? Orang kayak gitu gak cocok. Mending jadi tukag pukul," timpal bejo santai.

Si bapak mengeleng heran akan tingkah Bejo, cuman anak itu yag nekat melawan tindakan Sapto.

Berlalu dengan kepulan asap serta berat di tangan, kesulitan mereka selalu begini.

Pergi ketika petang pulang ketika malam, Bejo melangkah dengan lesu menuju rumah sesekali dirnya beristirahat, rumahnya termasuk terpencil hingga tak ada orang lain yang menyadarinya untuk terpikir ada sebuah gubuk berada di balik bukit tersebut, mata bundarnya melihat dari kejauhan nampak sosok yang ia kenal tengah duduk di beranda rumah.

Langkah nya kian cepat menghampiri sang istri, "Sih, nyapo kowe neng kene, nyapo ndak neng jero (Sih, kenapa kamu di sini, kenapa gak masuk ke dalam) ?" Bejo ikut duduk bersebelahan.

Ningsih memberikan air minum dari tanah liat untuk suaminya, mereka terlalu miskin membeli gelas dari keramik.

"Ngenteni kangmas (nungguin abang)." Sahut Ningsih penuh kasih.

Istrinya itu terlihat pergi masuk kedalam membiarkan si suami melepas penat di depan teras, ia kembali lagi dengan wakul nasi serta ikan bakar untuk diberikan pada sang suaminya.

"Ini buatmu, jarang jarang bisa makan kayak gini."

"Sih, apa kamu gak papa makan ini? Gak mahal kan, besok makan apa kita?" Bejo lelah sekali memikirkan bayaran begitu mencekik namun istrinya menghamburkan untuk membeli ikan.

Ningsih mendengar kalimat dari Bejo langsung memanyunkan bibir, bagaimana pun ia ingin yang etrbaik untuk keluarganya, jiwa anak anak Ningsih serta Bejo pun masih ada sisi egoisme tersendiri.

"Aku cuman pengen masakin ini, buat kangmas. Mbok ya, di puji." Tukas Ningsih mendumel. "aku ya capek di rumah. Tapi yak ngerti gitu loh, sekali kali ada rejeki makan enak," dengkus Ningsih.

Sebagai lelaki Bejo tak terpikirkan makan makanan enak, baginya uang itu bisa membuat mereka makan dengan layak kedepannya, tak terpikir pun Ningsih juga punya keinginan.

Sisi pria Bejo tak mengijinkan dirinya untuk meminta maaf, "pokoknya jangan diulangi lagi! Mbok mikir, kalau beli ikan itu mahal, mas bisa mancing sendiri, kalau kamu mau." Bantahnya dengan tinggi.

Ningsih kian memperlihatkan kilatan air mata, ia kecewa dengan sikap suaminya, "Ya udah. Gak usah kamu makan!" kembali Ningsih mengambil nasi jelas bercampur kerikil itu dengan ikan.

Niat hati membuat senang suami, malah menjaedi perkara, "iuripe awak dewe wes susah, mbok ya iso seneng titik (hidup kita sudah susah, coba senang dikit)."

Ningsih masuk kembali kedalam rumah, kali ini ia tak kembali menungui suaminya.

"Pie to kowe iki." Bejo inggin mengumpati dirinya sendiri, membuat istrinya kembali ngambek.

Bejo masuk, menyusul istrinya.

"Sih, Ningsih... ."

tak ia temukan sosok munggil istrinya di dalam, ia melihat puntu belakang terbuka lebar, menandakan Ningsih keluar lewat sana.


SURAT IBUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang