'Glek'
Nina melirik kenanan menghindari si kuntilanak muncul di sisi kiri wajahnya, ia bahkan kebinggungan harus bagaimana menghadapinya.
'Kenapa nih, saiton...nempel mulu, mana ngeliatin gitu banget.' Batin Nina bergelisah dari tempatnya.
"Nduk, kamu kenapa, tho begitu?" tanya si kakek nampak gerah melihat si cucu tak bisa tenang di kursi nya.
"Tadi pagi capek, sekarang kenapa lagi." Kini Nini ikut buka suara, "apa ndak betah?"
Nina menggeleng ribut, gak. "Nina uda selesai makannya, mau pamit tidur dulu ya, Ni, Kek." Pamit Nina setengah berlari menuju kamar, 'kapan ni kunti ilang, dari pagi siang sampe malem nongol terus.'
Nina mengunci pintu kamarnya rapat, ia berbali badan. Sudah di sambut oleh si setan yang kini berdiri sekitar 2 meter dari tempatnya.
"Mau apa?" kali ini Nina nekat membuka pembicaraan dengan si setan, selama ini perinsipnya tentang tak memeperdulikan mereka nampak tak berlaku pada si kunti ajaib satu ini.
Cekikikannya berganti dengan vokal serak, serta semerbak bau melati di barengi anyir darah.
"Kau bisa melihatku, aku sudah perkirakan itu." Ujar si kunti girang.
"Jadi mau apa kau?" tanya Nina menantang si kunti. Muak ia seharian ini di kintili si setan satu ini.
Wajah putih dengan urat menonjol di bagian wajahnya, kian lama surut, rambutnya yang mengembang kian lama berubah menjadi rambut umumnya manusia, penampilan hanya serba putih kini berganti dengan wujud manusia ayu berpakaian jaman dulu, kebaya krem masih dengan rambut tersangul.
"Manusia?" beo Nina menepuk mukanya, menyadarkan jika di lihatnya ini memang lah setan.
Sosok kuntilanak tadi kini sudah berubah bak orang normal pada masanya, ia berucap dengan tutur halus, menjawab pertanyaan di benak Nina.
"Namaku dulu, Ningsih." Katanya memperkenalkan diri.
Nina masih diam, menyaksikan si setan itu kembali melanjutkan bicaranya. "aku mohon tolong aku buat menemukan anakku."
"Kau mati kapan?" tanya Nina kemudian.
"Aku tak tau tepatnya, seingetku jaman belanda." Sahut kuntilanak bernama Ningsih.
"I-itu lama woy, mana bisa aku nemuin anak, cucu, cicitmu."
"Aku mohon." Pintanya, "aku inggin pergi dari sini, tapi susah."
"Terus aku nyarinya dimana?" ketus Nina melipat tangan.
"Kembali ke ingatan masalaluku, aku semenjak jadi setan. Banyak yang kulupakan, tolong bantu aku mengingat kenapa aku bisa mati dan dimana anakku."
Nina inggin mengumpat, jika bisa memukul kepala si kunti dengan nyata inggin ia lakukan sebenarnya dengan cara itu, sayanganya walaupun wujudnya manusia, masih sama dia makluk tak kasat mata.
"Caranya? Aku gak mungkin bisa balik ke jaman nenek moyang, hey. Jangan ngadi ngadi anda saiton." Tunjuk Nina tak takut.
"Ada, ada caranya," ungkap Ningsih bersimpuh di lantai, ia nampak sendu seperti manusia umumnya.
Nina menyesali mengajak ngobrol si kunti, kepalanya rasanya mau pecah. "yaudah, kau bilang apa yang bisa aku bantu. Tapi ingat jangan gangguin aku lagi, gara gara makluk kayak kau, aku selalu di anggap aneh."
Ningsih bahagia, "maturnuwun," ujarnya dengan pelafalan jawa.
"Ceritakan, bagaimana caranya?"
Ningsih menganguk, "i-iya akan aku jelaskan, kau bisa berbaring dulu."
Nina mingikuti intruksi dari si kunti, berbaring.
'Tunggu, kenapa aku nurut? Kalau di isep darahku gimana? Begoh,' rutuh Nina yang sudah terlentang di atas kasur.
"Aku akan nembang, kau akan di tarik di dimensi aku pernah hidup, tolong bantu aku cari tahu, alasan kenapa masih terjebak di sini dan dimana anakku," ujar Ningsih menambahi.
Cublak cublak suweng
Suwenge tinggelenter
Mambu ketudhunggudhel
Pak gempong lera lere
Sapa ngguyu ndelik aje
Sir sir pong dele gosong
Sir sir pong dele gosong
Tembang lawas, lagu anak tempo dulu. Seolah seperti sihir, ia tengah di nina bobokan suara Ningsih mengalun begitu indah.
Matanya tertutup rapat, seakan tak akan ada diktraksi dari luar yang dapat menganggunya.
Suara suara mengusik nyenyaknya seorang Nina, memaksanya bangkit dari tanah—
"Tanah? Kenapa aku di sini?" Nina melihat kedepannya.
Dia berada di tengah pasar, bukan pasar tradisional di kota, pasar yang benar benar masih tak ada namanya tempat yang layak untuk berdagang, hanya hamparan tanah, sebagian ada yang memamerkan dagangannyaberalaskan kain jarik.
"I-ini, di mana? Ak-aku di mana?" gumam Nina ketakutan, ia masih belum bisa menerima hal di depan matanya, sejak ia melangkah kontras dengan pakaian di kenakan orang di sekitarnya Nina seperti transparan, tak ada yang melihat atau menyapanya.
Matanya menajam, melihat sosok Ningsih, ia baru kembali teringat, ini semua ulah Ningsih—si kuntilanak—dengan berani Nina mengejar sosok itu.
"Hey—hey!"

KAMU SEDANG MEMBACA
SURAT IBU
Misteri / ThrillerNina tak menyangka kemampuannya sebagai anak indigo mempertemukannya pada sosok kuntilanak, nyentrik. di kediaman sang kakek. Dia meminta Nina untuk membantunya, di masalalu ternyata Nina serta si hantu memiliki ikatan, alasan yang membuat si hantu...