8-Diam

13 4 2
                                    


Bejo mengelus serta mengecup perut Ningsih yang masih rata dan belum nampak menonjol sekali.

"Bapak pasti seneng denger anakya segera punya cucu." Bangga Bejo pada mereka.

"Tokcer juga punyaku," pamer Bejo membuat Ningsih memailingkan wajahnya bersemu.

Ningsih mengelus perutnya perlahan, "jadi disini ada bayi nya? Anak kita mas... ."

"Iya, Sih. Anakku emang mau anak siapa lagi."

Ningsih memukul mulut suaminya, "makasih ya mas. Udah nemenin Ningsih sampai sekarang,"

Bejo manganggu sambil mengelus surai milik istrinya masih tergelung.

"Kalau begitu, mas Bejo bisa nga keluar dari tempat kerjanya mas, biar kita punya waktu berdua, ya mas." Desak Ningsih memohon.

Bejo tak ambil keputusan segera, "tak pikir dulu ya, dek." Putusnya tak mengambil jawaban segera.

"Ya wes, mas mu ini berangkat kerja dulu. Kamu jangan kecapekan, nanti kalau sempet minta Sri aja kemari bantu bantuin kamu, ya." Suruh Bejo menyuruh istrinya berada di rumah.

Ningsih tampak tak merelakan kepergian Bejo yang pamit bekerja, katanya bekerja nyatanya hanya jadi buruh tak ada harga.

* * *

Bejo datang ke tempat ia biasanya bekerja, izin pada salah satu kepala kerja di sana, tak ada Sapto yang biasanya bekerja hanya untuk mencambuk atau centengnya mengamuk membuat orang lain sengsara, kini Bejo celingukan mencari pak Sutris, pria yang jauh dewasa dari padanya biasa menambang batu.

"Jo, Bejo."

Bejo menghampiri asal suara, teman sebayanya sembari menenteng batuan, "kamu cari lek Sutris?"

Bejo mengangguk, "iyo, ndak biasanya orannya ndak dateng kan aku binggung nengdi sekarang dia," keluh Bejo memang penasaran.

Wajah temannya itu celingukan sebelum menyuruh Bejo bersembunyi di balik batu tak terlihat oleh pengawas.

Wajah anak berambut keriting berhidung pesek itu mengosok hidung nya, "Lek Sutris mati, Jo. Kemarin malam katanya ada yang liat dia dihajar, pagi ini udah dikuburkan keluarganya, tapi sama sekali ndak ada bantuan dari sini."

Rahang Bejo mengeras, "keterlaluan."

Temannya menepuk bahu Bejo, berlahan berbisik. "mending kamu ati-ati aja, Jo. Aku tahu kamu berani tapi kayaknya yang kena hukuman itu bukan kamu, tapi orang sekelilingmu. Jangan aneh aneh ya, apa lagi sama pak Sapto."

Giginya sudah bergemeletuk menhan amarah, bagaimana bisa ia membiarkan temannya sendiri makin lama makin tersiksa.

Apa aku pergi ae ya dari sini, tapi kalau aku pergi. Sapa yang mau bela mereka.

Pandangan Bejo mengedar ke temannya yang lain, banyak para pekerja yang tenagh kesusahan melakukan pekerjaan begitu tak manusiawi dengan upah mencekik.

"Tapi... ." pandnagan Bejo begitu bingung langsung menpaat tamparan dari temannya tadi.

"Wes, lah oj sokk. Lek kerja ya kerja."

Bejo tersentak mendapat tamparan keras dari temannya begitu menyakitkan, "Ko—"

Bejo terdiam, ia melihat kemana mata temannya tadi mengarah, ada para centeng Sapto mengitarkan pandangannya ke mereka.

"Heh yang disana, diem gak!"

Bejo termangu di tinggalkan sendiri, ia sadar tengah siselamatkan oleh temannya, jika tidak mungkin merek aberdua akan mendapaykan hukumuman dari pria berbadan besar di sebelah utara tempatnya.

Kuambil kembali martil besar, kukerahkan tenagaku memukuli bebatuan kapur, kapan bisa bebas negri pertiwi iki, ya gusti. Aku pengen anak cucuku aman selamet.

Ku lemparkan pandangan ke arah centeng yang memanggilku begitu kasar.

"Kenee kamu!" serunya bertolak pinggang

"Kamu yang kebanyakan tingkah itu kan?"

Ucapnya dengan sombong, kalau aku mau kelahi, sudah tak ajar orang orang ini. Pikirku kesal, begitu lelah hingga upah pun tak turun.

"Mok kira, wajahku di kakimu seng dekil itu ... liat kemari."

aku pun mendongak, mentap wajah berangnya.

SURAT IBUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang