13 - Ilusi Keadaan

10 2 0
                                    


"Nina, ngapain kamu di sini. Udah sembuh 'kah?" raut keriput itu seketika nampak senang, begitu melihat cucunya mendatangi di kebun.

"Sembuh?" ulang Nina gak ngerti, "aku sakit apa, sembuh?"

"Emang aku sakit, nenek jangan becanda?"

Nina berjongkok menjajarkan dengan tubuh si Nenek. "kamu kemarin demam, ini nenek mau buatin kamu sup ayam, kakekmu pergi buat nebus obat, gak sadar-sadar."

'Ini pasti gara-gara aku di ajak jalan-jalan beda dimensi. duh, emang setan.'

"Nek, aku sehat kok. mungkin emang masih kaget aja smaa udara di sini."

"Sukurlah, sukurlah," si nenek terus berucap syukur. "sekarang, aku bantuin nenek masak, yuk. jangan kerja terus nek, biar aku bantu."

Nina mengambil alih keranjang milik si nenek, sudah berisi kentang, serta beberapa sayur. Memang memiliki lahan cukup luas serta tempat yang subur untuk mereka tanami bahan pangan.

Nina membantu si Nenek untuk berjalan. pawon  begitu dibilangnya, ada dapur moderen dan dapur 'ndeso' berada di belakang rumah, terpisah dari bangunan tempat kedua orang sepuh itu tinggal, hanya ada dinding dari anyaman kayu nampak sudah menghitam kena asap kompor.

"Gak mau aku bantuin, nek?" Nina kukuh ingin membantu hanya menjadi pajangan.

"Kamu itu baru sembuh, gak perlu bantuin. Emang bisa masak?"

Nina kepingin membantah omongan neneknya, tapi emang skill masaknya itu cuman go-food dan mie instan, basa anak kost.'ini gara-gara si kunti, mana aku gak bisa di giniin.' ia merasa kalau si kunti membuatnya jadi 'sakit' di dunia aslinya.

"Terus aku ngapain, masa cuman dekem dek sini," rengek Nina, dia sambil klesotan di atas tanah, ruang dapur belakang memang tak penerha di semen, toh jarang di pakek kata si Nenek kalau lagi gak mood.

"Main ke luar, masa cucu nenek tetep di rumah atau balik istirahat. Nanti sakit lagi," usir nenek.

sembari menghentak hentakan kaki, Nina pergi dari sana. Keluar dari area dapur, menuju ke halaman belakang, banyak pohon rindang di sana.

Aroma kehidupan, segar. "di sini, adem juga."

"Bener, di sini adem. walaupun siang,"

Nina mencari sumber suara, "apaan, di mana!"

"Hey! aku di atas!'

Nina mendongak, sosok kunti yang dia lihat ada di sana. "setan kok siang, siang gini!"

Ningsih tertawa, dia turun dengan sangat halus duduk klesotan di tanah, memandang Nina. "Ya, tergantung, seharusnya ini jadwal aku tidur, lagian kenapa keluyuran."

Nina mendelik, ada yang ingin dia katakan kepada si hantu itu. "Gara-gara kamu, aku jadi sakit. Kamu emang niat menyelakai 'kan."

Kalau pergi menyebrangi dimensi si hantu itu malah buat dia sakit dan hampir mati, sama saja, semua hantu niat jahat, terlebih penampakan Ningsih menakutkan awal mereka bertemu.

Ningsih mencebikan bibir, mirip dengan manusia dengan banyak eksrespi--sayangnya dia bukan manusia, kebetulah, memang pernah hidup--beridiri layaknya orang, Ningsih mengibaskan kain di kenakan.

Nina mengernyit, tindak-tanduk si hantu, betulan 'terlalu manusiawi' untuk ukuran hantu yang masa bodoh dengan sosoknya sendiri, entah nyeremin bagi mansia atau nggak.

"Kalau begitu, kamu ikut aku dong, saat bulan purnama merah, kamu bisa menghilang seratus persen ke duniaku, saat aku masih hidup, kita bisa intraksi,"

Nina merasa ucapan si hantu terlalu mengada-ada. "Time travel?"

Giliran Ningsih memiringkan kepala, tak paham dengan pembahasan Nina. "Apa itu? Trapel, Trapel."

Nadia ingin menertawakan jika Ningsih betulan manusia, karena ada sisi polos. "Time artinya waktu, travel adalah perjalanan. Tukang penjelajawah waktu."

Ningsih mengaruk rambut gimbalnya cukup panjang, "terserah, deh. Sebutannya apa, yang jelas, kamu bisa hidup dan betulan, bisa ngubah masa laluku." Tandas Ningsih kembali terbang menghilang ke pepohonan.








Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 06, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SURAT IBUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang