6-Baikan

14 5 1
                                    

Ia menyadarai belakang rumahnya rimbunan pohon, mengingat mereka tinggal di tengah hutan juga. Langit mulai menggelap tak mendukung Bejo untuk melihat dengan awas.

Segera ia mencari penerangan yang bisa ia gunakan, terop. Lampu dengan api di dalam kacanya.

"Sih! Ningsih!" teriak Bejo celingukan mencari istrinya di tengah kegelapna malam.

Samar terdengar suara isak tamggis, ia yakini itu adalah suara istrinya, tubuh bersih itu bersandar di balik pohon kering.

"Ningsih?"

Istrinya mendongak, dengan wajah sembab. Tentu itu semua karena ulahnya, Bejo menaruh lentera dari tangannya ke tanag, memeluk tubuh istrinya, "Ampun, ampun...maaf'no kangmas, ya dek." Sesal Bejo.

Baru kelimpungan mencari istrinya saja ia sudah panik apa lagi di tinggal pergi sejauh yang dia tak tahu itu.

"Mas, mbok ya ngehargai aku. Kamu gak ngerti tadi aku memperjuangin pulang sampe di ganggu, centengnya Sapto! Kamu gak mikir aku berusaha biar tetep bisa pulang dan mikirin kamu," isak Ningsih sesegukan.

Bejo membelalak terkejut, membuat jarak antara mereka, ada memar di sudut siku serta lembam terdapat di telapak tangan, ia mengumpati dirinya sendiri, tak menyadari kondisi intrinya yang sedemikian nelangsa.

"Ngapurone, dek... ngapurone, (minta maaf sekali, dek... minta maa sekali)." Tutur Bejo juga terisak.

Malam kian pekat karena mendung, gerimis di tengah malam membuat Bejo meminta Ningsih kembali luluh.

"Ayok pulang, biar tak urus kamu... kita makan masakanmu bareng bareng, pasti enak pas ujan ujan gini."

Bejo menuntun Ningsih berjalan dengan bantual lentera bergoyang.

Ningsih masih manyun, tapi rasa leganya terbayarkan suaminya memohon maaf padanya segera, jika tidak di aakan bermalam di tepi hutan tanpa mau memasuki rumah huniannya segera.

Ningsih menyiapkan makanan tak lagi hangat memakan dengan khitmat.

Suara gerimis hujan menjadi penggiring ssuara kodok bersahutan di luar sana.

Ningsih memangku kepala suaminya setelah selasai makan malam mereka kali ini jauh lebih nikmat dari pada sebelumnya.

Bejo masih memandnag bersalah melihat tangan istrinya kini terdapat baret.

"Ini kenapa?" bisiknya lirih hampir tersamar karena suara hujan.

"Aku jatuh, tenang ae... aku bisa selamet dari centeng di tempatmu kerja kok." Ia menenangkan sang suaminya segera.

"Kok bisa?"

"Aku pas pulang papasan, mereka." Ia menjeda sebentar. "aku lari, naik pohon, setelah iku...mereka gak ngejar aku lagi." Nigsih tampak puas menceritakan prilakunya hari ini, terkesan isneg tapi tengah mencari pertolongan untuknya sendiri.

Bejo tersenyum senang, ia ikut tertawa. "Kamu yo! Kok ada ada aja, untung istriku ini pinter." Kekeh Bejo ikut bersyukur, tak ada luka serius untuk di kawatirkan.

"Sih," panggil Bejo dengan senyumannya biasa mengkode Ningsih.

"Tulung, nyanyekno tembang kidung." Pinta Bejo mengharap, ia melihat dari bawah, wajah istrinya sangat teduh dengan senyuman manisnya.

"Minta lagu apa, tembang ae ya?" tawa Ningsih, "terserah ae wes." Manut Bejo.

"Gundhul gundhul pacul cul gembelengan

(Gundhul gundhul cangkul kul gembelengan (besar kepala atau sombong))

Nyunggi nyunggi wakul kul gembelengan

(Membawa bakul (tempat nasi) diatas kepala dengan gembelengan (besar kepala atau sombong))

Wakul ngglimpang segane dadi sak latar

(Bakul (tempat nasi) tumpah nasinya jadi se halaman)

Wakul ngglimpang segane dadi sak latar

(Bakul (tempat nasi) tumpah nasinya jadi se halaman)

Ono Bocah gundhul ndhul

(Ada anak gundhul ndul)

Lungo menyang sawah

(Pergi ke sawah)

Nyunggi nyunggi wakul kul

(Membawa bakul (tempat nasi))

Karo gembelengan

(Dengan gembelengan (besar kepala atau sombong))

Mlaku neng tengah ndalan

(Berjalan di tengah jalan)

Ora wedi bebayan

(Tidak takut bahaya)

Mlaku neng tengah ndalan

(Berjalan di tengah jalan)

Ora wedi bebayan

(Tidak takut bahaya)

Wakule ngglempang dadi sak latar

(Bakulnya (tempat nasinya) tumpah jadi se halaman)"

Seiring lagu ia alunkan, Bejo sudah tak berdaya. Ia tengah lelap dengan nyaman, Ningsih menurunkan berlahan kepala suaminya dari paha.

Ningsih beranjak pergi, keluar dari rumah. Memuntahkan isi perutnya, mulas tak karuan.

"Iki aku masuk angin tha?"


SURAT IBUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang