CHAPTER | 10

8 1 0
                                    

Kesha menyadari lebih baik dirinya sendiri. Beberapa hari terakhir, dirinya bertanya-tanya apa kesalahannya hingga pria itu tidak memahami bagaimana memperlakukan seseorang dengan baik. Tidak bisa membedakan sebuah permata dengan tiruan. Pria itu tidak tau menggenggam kepercayaan saat orang itu benar-benar mencintainya.

Segalanya terlihat sempurna, Kesha bahkan tidak pernah menduga mantannya itu bisa menutupi perselingkuhannya dengan rapi. Bagaimana bisa segalanya bisa dengan cepat berubah. Sebuah perasaan cinta menjadi benci dalam sebulan. Ini seperti berada di roller coster, ekstrim, menegangkan juga menyakitkan.

Kesha mencoba menahan air matanya. Ingatan tentang masa kelam itu masih jelas di kepalanya. Dirinya hanya ingin berlari. Luka yang diberikan pria itu sangat besar hingga dirinya tidak tau cara untuk menyembuhkan diri. Kadang, Kesha berharap Revan adalah seseorang yang benar-benar menghargainya juga mencintainya seperti dirinya mencintai mantannya itu.

Pria itu justru menghancurkan dirinya. Sangat melelahkan berdamai dengan kenyataan yang meremukkan dada. Ketika dirimu terperangkap dalam memori saat dirimu menghabiskan banyak waktumu, memberikan segala hal terbaikmu berada di samping pria yang kamu cintai, mendukungnya menjadi seseorang pria sesungguhnya. Berharap pria itu menjadi pendampingmu, menjadi bagian dari hidupmu dan membentuk sebuah keluarga. Tapi itu hanyalah mimpi yang tidak dipernah terjadi.

Kesha selalu percaya bahwa sebanyak kamu mencintai seseorang maka cinta itu juga akan kembali kepadamu. Mungkin dirinya hanya belum menemukan orang yang tepat. Orang yang bisa melihat setiap sisi dirimu, apa adanya dirimu, mungkin ... sebuah perasaan penuh saling mengisi satu sama lain dengan getaran jiwa yang senada. Seseorang yang benar-benar menghargai dirinya sebagai seorang wanita karena dirinya layak dihargai.

Kesha melihat sesuatu yang berbeda dari pria yang ditemuinya hari ini. Devan, dirinya sangat dewasa, apa adanya, mempesona secara alami, matanya memancarkan jiwanya yang tenang, sesuatu yang selama ini Kesha cari sekian lama dari seseorang pria. Mata hazel hijau itu yang menatap Kesha terlihat hangat itu membuat Kesha bergetar.

Menghabiskan waktu dengan pria ini selama berjam-jam perlahan ia menemukan serpihan dirinya kembali. Berbicara dengannya tentang hal-hal yang terjadi dalam harimu, tidak pernah semenyenangkan ini. Rasanya seperti berada di rumah.

Devan membuatnya nyaman, aman, dan Kesha ingin mengenal lebih banyak tentang pria ini.
Tapi dirinya khawatir, Ia harus berjuang melewati rintangan untuk seseorang yang baru disaat dirinya belum sembuh sepenuhnya dari patah hatinya.

"Kita bisa mencobanya-"

"Ini terlalu dini," potong Kesha. Raut cemas memenuhi air mukanya. Kesha belum siap untuk menerima kehadiran pria di sampingnya ini untuk hubungan yang lebih serius. Terutama pernikahan.

"Aku membutuhkan waktu untuk diriku sendiri menerima orang baru dalam hidupku," ucapnya kemudian. Devan yang mendengarnya menaruh kepalanya di kemudi setir seraya menatap Kesha perlahan.

"Maka kita lakukan perlahan-lahan, kita mulai dulu dengan saling mengenal satu sama lain. Kita berkencan layaknya pasangan normal lainnya. Setelah itu kita menikah," tukas Devan.

"Kita tidak punya banyak waktu, Kesha." Devan kembali mengingatkan mengenai pembicaraan mereka di Restauran.

Kesha mengerjap mendengar omongan itu, matanya menatap netra hazel bercorak hijau itu. Pria itu tersenyum memandang Kesha.

"Tidak, beri aku waktu untuk mengenalmu," sahut Kesha. Ia meremas gaun hitam yang di kenakannya. Saat ini dia sedang frustasi. Jantungnya berlomba berdegup lebih kencang.

Perkataan Kesha ada benarnya. Devan terburu-buru menyatakan keinginannya untuk segera menikahi Kesha. Jika saja bukan karena kutukan itu, keduanya tidak akan mungkin harus bersiteru dalam ketegangan seperti ini.

The Curse of The Petrov FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang