CHAPTER | 16

5 0 0
                                    

72 Jam sebelumnya.

Catania, Italia.

Sinar terik matahari di sepanjang kaki langit Catania, awan berpilin, menyatu membentuk kumpulan awan yang semakin besar seiring waktu.

Lonceng gereja berdentang nyaring di Katedral Catania karena sekarang hari Minggu, para jemaat terlihat kusyu mendengarkan khotbah pendeta agung Salvatore. Interior Kathedral Catania merupakan gabungan gaya Eropa, Romawi, dan Islam karena Catania pun pernah dikuasai oleh dinasti Islam dari Tunisia, Afrika Utara, sekitar tahun 903-1044. Bangunan itu selalu bisa memanjakan mata.

Salah satu jemaat yang mencolok diantara yang lain mengenakan setelan Bottega Veneta berwarna cokelat gelap, rambut tertata dari salon ternama perpaduan cokelat kehitaman, bermata hazel tertutup kelopak yang menyerupai reptil. Bulu matanya lentik, alis terarsir rapi, dan bibir tipis semerah ceri segar yang baru di petik.

Kulitnya seputih porselin, hidungnya mancung bengkok sedikit di bagian atas. Rahangnya terlihat tegas tertutupi bulu-bulu halus di sekitar jambangnya. Dia bukanlah pria agamis, bukan juga khatolik melainkan ateis. Sejak keluarganya dibantai oleh keserakahan keluarga besarnya secara sadis dan brutal kepercayaannya terhadap Tuhan hampir tidak ada.

Setiap kali dia melakukan kejahatan, dirinya pergi ke gereja hanya untuk menenangkan diri. Duduk berjam-jam tanpa memikirkan apapun hanya memandangi patung bunda maria. Refleksi diri seperti ini selalu berhasil mengatasi insomnianya atau kengerian membunuh para musuhnya.

Dirinya terlihat sibuk dengan handphone pribadinya setelah mendapatkan pesan pribadi dari salah satu anak buahnya. Bibirnya tersenyum miring.

Beberapa bawahannya terlihat bergegas mendatanginya di Katedral, semuanya mengenakan setelan berwarna hitam. Bawahannya, Carlo Fernandez, pria asal spanyol-italia mendekatinya. Wajahnya menegang lalu berbisik di telinga pria itu.

"Bos, markas kita di Milan telah terbakar." Ucap Carlo sepelan mungkin. Carlo nyaris tidak bernafas melihat mata pria yang telah menjadi atasannya selama 17 tahun ini.

"Brengsek!" Umpat pria itu, wajahnya memerah terlihat kesal menahan amarah. Carlo yang mendengar umpatan itu menegang. Tubuhnya semakin menggigil saat berhadapan langsung; nyalinya ciut seperti semut.

Pria itu segera memberikan kode dengan jemarinya kepada bawahannya yang lain untuk meninggalkan katedral.

"Lebih baik kita pergi. Ini tempat suci, kita tidak perlu membicarakan bisnis disini," ujarnya datar.

"Baik Boss." Jawab Carlo sambil membungkuk hormat.

Pria itu segera bangkit dari kursi jemaat lalu meninggalkan katedral. Para jemaat yang lain terlihat bingung karena pria itu tidak mendengarkan khutbah pastor sampai selesai. Para bawahannya berbaris di belakangnya seperti kumpulan mafia.

Seorang supir bergegas membukakan pintu mobil sesampai pria itu keluar dari Katedral. Ia segera naik ke mobil sedan. Carlo atau yang biasa disebut Underboss berada di belakangnya segera masuk ke dalam mobil yang sama dengan pria itu.

Para bawahannya yang lain segera menaiki mobil mereka masing-masing. Beberapa mobil berjalan berjejer rapi di jalanan mengikuti mobil bos mereka yang telah lebih dulu meninggalkan Katedral.

Aleksander Maximillian Devano Kelsey Anderson, itu adalah nama lengkap pria itu. Pewaris sah dari Anderson Group yang terasing ke negara Norwegia. Jika kakeknya Eric tidak menyelamatkan nyawanya dirinya tidak akan bisa menghirup udara saat ini. Teman, musuh juga kolega bisnisnya hanya mengenalnya sebagai Devandra Kelsey.

Ingatan Devan kembali kepada masa kelam itu. Sudah hampir 33 tahun Devan tidak pernah menyematkan nama lengkapnya sejak kejadian pembantaian masal keluarganya. Bahkan nama itu sengaja terhapus demi keselamatan hidupnya. Hanya anggota mafia Maranzano, ayah angkatnya Kelsey Maranzano juga kakeknya saja yang mengetahui identitasnya.

The Curse of The Petrov FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang