CHAPTER | 2

20 1 0
                                    

Dua hari sebelumnya,
Anderson Group, Tangerang.

Kesha berjalan sendirian memasuki lobi perusahaan Anderson Group. Ia ingin melarikan diri dari hiruk pikuk manusia dan mencari keheningan untuk menenangkan dirinya. Lima menit kemudian, ia mendengar sebuah langkah kaki dan aroma parfum lily yang dikenalnya; ekor matanya menangkap wajah seorang wanita seumurannya yang baru saja keluar dari lift.

"KESHAAAA!" Pekik wanita itu. Suaranya yang renyah menggema cukup panjang. Membuat keributan dan menjadi pusat perhatian orang-orang disekitarnya.

Kesha menahan desahannya mendapati sahabatnya yang berteriak memanggilnya. Beberapa orang yang berada di lobi terlihat kebingungan dengan suara imut dibuat-buat yang keluar dari bibir sahabatnya itu, Agnesia Dirgantara.

"Kamu memang bencana Agnes," Ucap Kesha sambil mendorong tubuh sahabatnya itu kembali ke lift. Agnesia memanyunkan bibirnya, "Aku ingin menemui Riftan, dia sudah menunggu dari tadi."

"Begitukah?" balas Kesha. Ia berbalik memandang Agnes. Kesha meraih handphone miliknya dan memanggil Riftan. Setelah pihak penerima mengangkatnya Kesha segera berbicara, "Riftan, I have a business with Agnes, it's urgent. We are talk later."

"Ke, Kesha... " Panggilan terputus begitu saja.

Agnes yang mendengarnya sedikit kesal. Kesha selalu saja seenaknya. "Hey, aku harus menemui sayangku itu," regeknya kesal.

Kesha beringsut mendekati Agnes. Matanya memandang Agnes dengan ekspresi tak terbaca; wajahnya terlihat lelah karena tidak tidur lebih 2 hari. Keringat dingin mulai membahasahi tangan dan sekujur tubuhnya.

Tak ada gunanya berpura-pura tenang, pikir Kesha sambil menjauhkan diri dari Agnes.

Agnes memperhatikan Kesha dari ujung rambut hingga ujung kaki menyadari sesuatu, "Apa kamu baik-baik saja?" tanyanya cemas. Kata-kata itu terlontar begitu saja dari bibir Agnes. Ada perasaan khawatir terlihat sangat jelas dari ekspresi wajah Agnes.

"Sangat buruk, Agnes." Jawab Kesha jujur. Ia menyandarkan tubuhnya di pinggiran lift, menumpukan badannya di sisi pegangan tangan kalau-kalau dirinya ambruk seketika.

Sejak tadi malam, tubuh Kesha menghangat, dirinya demam tapi enggan menemui dokter. Ia ingin mengucapkan salam perpisahan sebelum melarikan diri dari semua orang. Kesha sengaja memaksakan diri untuk menemui calon mertuanya dan juga Agnes untuk membicarakan sesuatu.

Bunyi peringatan tanda pintu lift terbuka di lantai kantor Agnesia mengangetkan Kesha dari lamunannya.

"Ayo ke ruanganku, kita bicarakan hal yang perlu kamu katakan," kata Agnes, seperti biasa Agnes adalah sahabatnya yang memiliki kepribadian kontradiktif dengannya. Sahabatnya itu memiliki jiwa pelayan sejati. Dia akan membatu sahabatnya dan benar-benar tulus.

Kesha hanya mengikuti Agnes dari belakang. Sesampainya di ruangan, Agnes memintanya segera duduk di Sofa miliknya.

Agnes segera membuatkan Kesha teh chamomile untuk menyambutnya.

Matanya menyipit menginterogasi.
"Apa kamu begadang lagi?" cecarnya khawatir. Ia segera menyodorkan teh chamomile ke Kesha.

Kesha hanya tersenyum mengangguk sambil menyeruput teh itu.

"Begitulah, klien ku membebaniku dengan berbagai detail, diriku benar-benar dikejar deadline."

"Kapan terakhir kamu tertidur? Wajahmu lebih mirip zombie saat ini."

Dia bicara seenaknya, Kesha membatin.

"Akhir-akhir ini insomniaku semakin parah Agnes."

Kesha tidak berbohong saat mengatakan dirinya sedang mengalami insomnia, tidak hanya itu saja semua masalah yang dilaluinya membuatnya harus mengunjungi psikiater. Dia lelah secara fisik dan mental; namun enggan berbagi kepada orang lain untuk membuat mereka khawatir. Cukup dirinya sendiri saja yang kesulitan. Orang lain tak perlu menanggung kepahitan hidupnya.

The Curse of The Petrov FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang