13

14 3 0
                                    

Dhiya terbangun dengan keringat dingin yang membasahi dahi nya,mimpi buruknya datang lagi semua kejadian pagi itu terekam jelas di otaknya.

Haruskah dirinya kembali teringat seperti itu lagi? Tidak cukup kah Selama ini Tuhan, harus separah ini?

"Aku tau Tuhan...,diriku adalah pendosa tapi jangan biarkan aku tersiksa seperti ini." ucap Dhiya.

"Tidak cukup kah kemarin tangis ku? Sedih ku? Bahkan teriak ku pun tidak cukup?"

"Aku tak perna menyalahkan apapun yang terjadi Tuhan,itu sudah menjadi takdir ku,tapi tolong hilangkan itu Tuhan sudah cukup."

"Itu terlalu sakit."

Dhiya terisak sambil mengigit bibirnya,agar Ayah dan Bundanya tidak mendengar tangisnya. Dhiya tak mau di anggap lemah. Cukup dirinya saja yang tau seberapa lemah dirinya.

Dhiya membenci dirinya,Dhiya membenci kenapa dirinya harus ada. Kenapa dirinya harus di lahirkan. Dirinya bukan sosok istimewa dirinya sebuah kesalahan dari orang tua-Nya dulu.

Dhiya terus terisak Dya mengigit bibirnya hingga berdarah Dhiya memukul dada guna menghilang rasa sesaknya kejadian kelamnya kembali teringat.

Dhiya langsung menuju kamar mandi,menguyur tubuhnya dengan air dingin guna memberhentikan air matanya. Dhiya menjambak rambutnya,membenturkan kepalanya di tembok. "UDAHHH... CUKUP...STOPPP!!!!" Teriak Dhiya

Dhiya ingin menghilang suara suara yang ada di kepalanya. 'Udah...cukup...tolong.."lirih Dhiya kehabisan suara.

"Dhiya salah..."

"Dhiya minta maaf..."

"Ampun...Ampunn."  Dhiya terus mengigau dengan suara lemahnya.

"Aku tau aku seorang pendosa Tuhan,tapi tolong jangan seperti ini. Aku hanya manusia biasa yang lemah,jangan siksa aku seperti ini,aku tak sekuat itu Tuhan." ucap Dhiya.

"Jangan siksa aku seperti ini,ambillah aku jika itu lebih baik daripada harus kau berikan aku sakit seperti ini."

Dhiya terus mengigau,seperti orang tak sadarkan dirinya. Suara suara di kepalanya tak kunjung keluar dengan tubuh yang lemas,Dhiya menuju laci lalu mengambil sebuah silet,lalu kembali menguyur tubuhnya.

Dhiya menyayat tangannya Dhiya mengigit bibirnya menahan sakit, jika Tuhan ingin mengambil dirinya sekarang maka biarkan Dhiya menjadi tangan kanan Tuhan.

***
Dhiya membuka matanya menyesuaikan dengan cahaya yang ada di ruangan melihat di sekelilingnya,dirinya di rumah sakit? siapa yang membawa kesini?

Tangannya di infus,kepalanya pusing. Dhiya melihat tangannya sudah di perban Dhiya yakin itu adalah bekas sayatan tangannya.

Suara pintuh terbuka melihat Ayah dan Bunda masuk,Dhiya hanya diam melihat mereka berdua menunggu keduanya membuka suara namun Dhiya yakin kedua tak ada yang ingin membuka suara.

"Kenapa aku bisa disini?"tanya Dhiya.

"Bunda nemuin kamu di kamar mandi dengan keadaan pingsan banyak darah,dokter bilang kamu kehabisan darah." jelas Santi.

"Dhiya, bunda ada disini sayang,kenapa harus seperti ini?"

"Bukan Dhiya yang mau seperti ini bund,ini sudah takdir Dhiya ini jalan Dhiya." jawab Dhiya.

Santi dan Suami nya diam.

Ayahnya Dhiya memilih untuk keluar. "Dhiya bukan gak bersyukur dengan apa yang ada sekarang bund,Dhiya hanya manusia biasa yang berusaha terlihat kuat,Dhiya gak sekuat itu bund" jelas Dhiya.

DHIYA (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang